Jakarta, Aktual.com – Tekanan akibat keperkasaan dolar AS terhadap nilai tukar rupiah dan mata uang negara lain diproyeksikan terus terjadi hingga akhir 2018, kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo.
Adapun sejak pembukaan perdagangan Rabu (20/6) dan Kamis (21/6), pasca-libur panjang pasar karena Idul Fitri, nilai rupiah kembali depresiatif. Di pasar spot Kamis siang, rupiah melemah dan diperdagangkan di Rp14.099 per dolar AS. Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI juga mencatat rupiah depresiatif hingga Rp14.090 per dolar AS, atau turun 188 poin dibanding saat hari terakhir sebelum libur Idul Fitri yakni Rp13.902 per dolar AS.
Dody menjelaskan penyebab rupiah yang melemah adalah perbaikan data ekonomi AS, semakin sengitnya perang dagang antara AS dan China, isu stabilitas geopolitik, serta eskpetasi pasar terhadap kenaikan suku bunga The Federal Reserve sebanyak 3-4 kali tahun ini.
“BI sudah kalkulasi kemungkinan dolar AS masih akan menguat terhadap mata uang negara lain hingga akhir 2018,” ujar Dody.
Dia mengatakan Bank Sentral akan mejaga agar kepercayaan investor terhadap aset rupiah tetap positif.
“Atau seandainya rupiah melemah dapat terjadi secara wajar, tidak overshooting jauh dari nilai fundamentalnya,” ujar dia.
Bank Sentral memiliki empat strategi lanjutan, yakni pertama, menerapkan fokus kebijakan jangka pendek untuk memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah.
Kedua, BI akan menempuh kebijakan lanjutan yang bersifat antisipatif dan mendahului dibanding tekanan yang akan timbul.
“Kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga yg disertai dg relaksasi kebijakan pelonggaran kebijakan pinjaman utk mendorong sektor perumahan, (Loan to Value/LTV),” ujar dia.
Selanjutnya, BI juga akan melanjutkan kebijakan intervensi ganda di pasar SBN dan valas, menjaga likuiditas longgar, dan menerapakan komunikasi yang intensif, serta mempererat koordinasi BI, Pemerintah, dan OJK.
Ant
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta