Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar (kiri) memimpin rapat internal di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (29/7). Menteri ESDM pengganti Sudirman Said tersebut mempersiapkan tiga kebijakan yang akan dijalankan dalam membenahi sektor energi, yaitu pemanfaatan sumber daya alam, membangun kedaulatan energi guna menjamin pasokan kebutuhan, dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor luar dan dalam negeri. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) telah mengkaji skema yang diterapkan untuk kontraktor dalam pengelolaan Blok Natuna. Pihak ESDM menyebut skema yang digunakan adalah dengan gross split untuk menentukan bagi hasil eksplorasi blok tersebut.

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, dalam Diskusi Blok Natuna, di Jakarta, Selasa (6/12), menyatakan, penggunaan skema gross split itu sari sisi perusahaan akan semakin ‎efesien. Sehingga pada akhirnya akan mendapat insentif sendiri.

“Makanya dengan skema ini (gross split) pemerintah meng-encorage untuk efisien. Berbeda dengan skema cost recovery yang cuma memperhatikan cost plus. Berapa cost-nya, berapa keuntungannya. Dan apakah kita meng-encorage mereka untuk efisiensi, bisa iya, bisa tidak,” tuturnya.

Di sisi lain, skema gross split ini dipastikan untuk menaikkan aspek penerimaan negara yang lebih besar, bahkan dibanding skema cost recovery itu sendiri.

“Nah, itu splitnya (bagi hasilnya) berapa? Sedang dibicarakan. Makanya, seharusnya kan ini ditandatangani oada 14 November 2016 lalu, cuma ada beberapa term yang tidak menguntungkan, maka prosesnya kita tunda sedikit, agar term yang tak menguntungkan bisa kita obati,” papar dia.

Dengan skema baru ini, beberapa pihak seperti Komisi VII DPR menyebut, terkait kontrol pemerintah akan lemah. Namun Arcandra menepis ini.

“Tetap kita masih bisa kontrol kok. Bahkan mereka (kontraktor) mengakui masih bisa dikontrolkan, mau diapain ini di lapangan. Tentunya SKK Migas yang nantinya masih bisa mengkontrol,” tandas dia.

Namun demikian, nantinya akan ada insentif bagi kontraktor, terutama untuk blok-blok yang tidak komersial untuk dijadikan menjadi komersial.

“Akan ada insentif secara fiskal bagi lapangan (blok) yang marginal. Sehingga menjadi komersial,” jelasnya.

Bahkan dengan metode ini pun, kata dia, dari sisi teknologi, pemerintah tak membatasi kontraktor atau perusahaan dengan teknologi yang dibawanya. Mau dipakai teknologi dari mana pun, kata dia, itu sebuah peluang.

“End the end, pemerintah hanya lihat dari output-nya produksi berapa. Kita tidak lagi masuk ke ruang yang lebih jauh teknologi nya seperti apa, biayanya berapa, seperti itu. Ini terserah kontraktor. Ini oportunity. Dan gross split ini sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan,” papar Arcandra.

Perairan Natuna memang menyimpan 16 blok minyak dan gas bumi (migas) yang belum berproduksi maksimal. Bahkan disebut, ladang migas di Natuna bahkan potensinya mengalahkan Blok Masela.

Namun memang, kondisinya 70 persen kandungan migas di ladang tersebut masih berupa C02. Agar menjadi migas yang bernilai ekonomi tinggi, kandungan C02 itu harus dipisahkan dan perlu biaya mahal untuk itu.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan