Jika terbukti bersalah, kata Maria, mantan Sesjamdatun Chaerul Amir, sudah mencoreng lembaga Adhyaksa dan melanggar doktrin Kejaksaan yang termaktub pada Tri Krama Adhyaksa yakni, Wicaksana yaitu, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.

“Alat bukti lengkap dengan dua orang saksi atau lebih, bukti surat, bukti petunjuk, tinggal Kejaksaan periksa ahli, bahkan keterangan terdakwa atau pelaku sudah ada. Bahkan, Natalia Rusli sudah ngaku terima uang Rp550 juta dalam bentuk 100 dollar Amerika didepan Sesjamwas Kejagung ketika dikonfrontir,” ungkap Maria.

Dari Rp550 juta itu, sambung Maria, Rp50 jutanya diterima Natalia Rusli melalui transfer ke rekening bank atas nama Sheilla Ariestia Edina, terkait urusan penangguhan penahanan yang perkaranya tengah ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur yang ternyata tidak diurus atau tidak terbukti alias bohong.

“Alat bukti lengkap dan tindakan pidana ada, pelaku ada. Apakah Jaksa Agung benar-benar tegas mau bersihkan institusi Kejaksaan atau cuma pencitraan saja? Kita buktikan, silahkan masyarakat memantau perkembangannya dan menilai sendiri,” tuturnya.

Masih kata Maria, dukungan itu juga datang dari LQ Indonesia Law Firm yang bersedia menjadi saksi fakta dan menyerahkan semua alat bukti apabila Kejaksaan Agung RI serius mau memproses secara pidana dugaan gratifikasi sebagai deterrence effect atau efek jera terhadap para oknum Jaksa nakal yang merusak nama baik Kejaksaan.

“Coba Jaksa Agung simak sendiri, Kapuspenkum ketika ditanya apakah pencopotan terkait mafia kasus, dijawab ‘sesuai yang beredar’, lalu tunggu apalagi Jaksa Agung, pemimpin tertinggi Kejaksaan mengetahui adanya gratifikasi di depan matanya, tapi hanya dicopot saja?. Lalu apa gunanya UU Tipikor?,” sindir Maria.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin