Kemudian terkait pola operasi, dengan kehadirannya IPP menggunakan regulasi take or pay hal ini juga menjadi beban bagi PLN, terkadang meskipun tersedia produksi dari pembangkitan PLN namun PLN tetap mengutamakan listrik produksi swasta.

“Kita minta kalaupun listrik swasta hadir, harus sesuai dengan UU No 30 tahun 2009 pasal 4. Mereka itu hanya berpartisipasi dan tidak dominan, kalau kita mengatakan idealnya maksimal 20 persen konposisi listrik swasta dalam kelistrikan kita. Semakin banyak akan semakin menjadi beban, karena sistem take or pay,” tegasnya.

Yang tidak kalah penting terkait biaya pemeliharaan, diketahui pada program 10.000 MW sebelumnya, PLN banyak menggunakan teknologi dari China pada pembangkit. Namu ternyata pembangkit tersebut tidah handal dan berkualitas rendah, akibatnya PLN menanggung biaya perawatan yang tidak sedikit.

“Misakan kita bangun pembangkit itu 100 MW, ternyata dia hanya mampu berporoduksi 60 hingga 70 MW. Nah ini merugikan operasional kelistrikan disamping itu sering rusak. Ini sangat membebankan keuangan PLN untuk memelihara,” sesalnya

“Kalau kita bandingkan tahun 2015 dengan 2016, selama satu tahun itu biaya pemeliharaan naik Rp 4 triliun, itu sudah komposisi sampai 11 persen. Idealnya biaya pemeliharaan itu untuk sistem kelistrikan 4 hingga 6 peren. Jadi inefisiensi Rp 11 triliun,” pungkasnya.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby