Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan paparan kinerja BUMN 2015 di Gedung Kementerian BUMN Jakarta, Selasa (19/1). Total pendapatan BUMN dari 118 perusahaan pada 2015 mencapai Rp1.728 triliun atau mengalami penurunan daripada tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp1.931 triliun. Pada 2016 ditargetkan pendapatan meningkat menjadi Rp1.969 triliun. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/kye/16

Jakarta, Aktual.com — Kinerja BUMN selama ini sangat dimanjakan dengan service spesial dari pemerintah. Namun dampak terhadap perekonomian sangat rendah. Ini bukti ketidakbecusan Menteri BUMN, Rini Soemarno mengelola BUMN agar berdaya saing tinggi.

“BUMN selama ini banyak dimanjakan dengan PMN (penyertaan modal negara) atau subsidi. Tapi dampak terhadap perekonomian sangat rendah. Jangankan bersaing dengan perusahaan global, di dalam negeri saja keteteran,” sebut ekonom dari Indef, Ahmad Heri Firdaus ketika dihubungi Aktual.com, Kamis (21/1).

Selama ini, kata dia, kinerja BUMN sangat tidak efisien, bahkan hanya menghamburkan uang negara. Dengan begitu mereka tidak memiliki daya saing tinggi untuk bersaing di kancah global.

Untuk perbankan pelat merah saja, jika dibandingkan dengan perusahaan serupa asal Malaysia atau Singapura, masih kalah. Baik secara aset maupun laba bersih. Dan dengan perusahaan swasta juga, kata dia, perusahaan BUMN itu masih kurang berdaya saing.

“Padahal mereka sudah diberi fasilitas spesial dengan suntikan dana besar. Tapi hasilnya mana? Relatif sama saja dari tahun sebelumnya. Bahkan perusahaan BUMN maskapai penerbagan ada yang rugi hingga 200 persen,” cetus dia.

Tapi yang dilakukan oleh Menteri Rini kemudian, kata Heri, malah asyik menggadaikan perusahaan-perusahaan pelat merah itu. Kerja sama denga China untuk membangun proyek kereta cepat Indonesia-China (KCIC) yang melibatkan empat BUMN dan aksi ngutang tiga bank BUMN ke China Development Bank (CDB), bukti nyata Rini doyan menggadaikan BUMN.

“Itu kebijakan yang bahaya sekali. Karena mempertaruhkan aset milik bangsa dari BUMN yang potensial untuk berkembang. Kalau kita untung besar akan dinikmati mereka juga. Kebijakan itu sangat berisiko,” tutur dia.

Belum lagi, jika kebijakan itu mendatangkan kerugian dalam proses opersionalnya, maka negara yang akan menanggung. Dan ujungnya, aset BUMN itu akan ditarik pihak asing.

“Di bawah kinerja Rini memang disebut aset BUMN naik. Itu kan karena ada kebijakan revaluasi aset. Tapi ke depannya, dengan banyak yang digadai ada potensi BUMN kita dimiliki asing (China). Itu sangat berisiko,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan