Jakarta, Aktual.com – Wacana diperbolehkan masuknya unsur parpol dalam tubuh DPD dinilai akan menjadikan lembaga negara ini tidak lagi independen dan bertentangan dengan semangat dibentuknya DPD. Terlebih, wacana tersebut masih menuai polemik.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia Valina Singka Subekti menuturkan, meski yang dimaksud anggota DPD berasal dari perseorang tidak dijelaskan secara utuh. Namun, hakikatnya yang dimaksud perseorangan adalah tokoh daerah atau tokoh-tokoh golongan buka dari parpol.

“Jadi idealnya memang harus diisi oleh tokoh-tokoh daerah, bisa tokoh adat atau tokoh masyarakat. ‎Sebab DPD dibentuk kan mewakili daerah bukan dari parpol,” ujar Valina, Kamis (23/3).

Bila DPD diisi dengan kader-kader parpol, lanjut dia maka menjadi tidak ada bedanya dengan DPR. DPD dari unsur perorangan kata dia, dibutuhkan agar mereka bisa bekerja secara mandiri dalam memperjuangkan kepentingan daerah masing-masing. Karena DPD punya kewenangan untuk mengurusi otonomi daerah.

“Kalau DPD dari parpol jadi overload karena itu kan sudah diisi di DPR. ‎ DPD sebaiknya tidak lagi dari Parpol, ini semata-mata supaya anggota DPD ini bisa secara mandiri  untuk memperjuangkan kepentingan daerah masing-masing.”

“Tidak ada kendala dalam memperjuangkan daerahnya. Jadi murni untuk kepentingan daerah, terutama mengenai SDA, pemekaran, ekonomi. Itu semua kan tugas  anggota DPD yang bekerja secara mandiri tidak dipengaruhi oleh kepentingan lain, karena DPD sangat strategis.”

Meski diakui kewenangan DPD tidak sebesar dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR. Namun, bila UU-nya diatur secara maksimal akan menjadi lebih baik. Terlebih dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014, yang mengatur wewenangan DPD.‎

“Sayangnya putusan MK ini tidak dilanjuti dan belum menjadi prolegnas dalam revisi UU MD3. Padahal DPD punya kewenangan mengajukan RUU bersama DPR, dan ikut membahasnya bersama pemerintah dan DPR sebelum diputuskan bersama oleh DPR dan Presiden. Ini kalau ditindaklanjuti akan memperkuat peran DPD dalam menyalurkan aspirasi daerah.”

Lebih lanjut Valina menambahkan, dibentuknya DPD dengan DPR sebenarnya untuk saling melengkapi. Anggota DPD dipilih dari daerah mewakili provinsi dengan semangat untuk memperjuangkan regulasi yang khas dengan daerahnya masing-masing.

Sementara, anggota DPD dari Provinsi Lampung Anang Prihantoro mengatakan, meski belum ada aturan yang melarang anggota DPD dari unsur parpol. Namun, dia menilai masuknya unsur parpol di DPD sangat riskan bertentangan dengan etika.

“Jadi gini anggota dewan digaji dari uang rakyat untuk mengurus daerah, kalau tiba-tiba waktunya lebih banyak ngurus partai padahal yang dipakai uang jalan juga sebagian uang yang untuk ngurus rakyat dan daerah ya kan. Nah disisi itu menurut saya jadi tidak etis. Misalnya saat reses bisa jadi bukan untuk mengurus rakyat malah waktunya digunakan untuk ngurus partai,” katanya.

Lebih parah lagi, kata dia, jika ada pimpinan parpol yang ingin menjadi Ketua DPD. Menurutnya itu bukan hanya sekedar tidak etis tapi tidak sesuai. “Oleh karena itu saya kira, meski ada aturan pembatasan di UU Pemilu bahwa apa namanya, anggota DPD mestinya bukan pengurus parpol, apalagi pimpinan. Karena sekarang tidak ada aturanya, lalu orang melakukan itu. Ini melanggar aturan menurut saya.”

Di tempat yang sama, guru besar Hukum Tata Negara UI Satya Arinanto menyampaikan, perlunya perbaikan undang-undang MD-3 dan Pemilu untuk mepertegas pasal-pasal tertentu terkait keterlibatan partai politik di lembaga DPD RI. Dia menyayangkan saat UU itu dibawa ke MK justru dimuntahkan karena dianggap diskriminatif.

“Ini sama aturan yang mengatur ‎‎ masa kepemimpinan DPD RI menjadi dua-setengah tahun dan berlaku surut. Menurut saya keputusan merubah tata tertib tersebut merupakan sesuatu yang inkostitusional,” kata dia. [Ant]

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu