Jakarta, Aktual.Com,-Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kembali mengemuka pasalnya hingga kini kewenangannya yang dimiliki oleh DPD sebagai penyeimbang kewenangan eksekutif dan legislatif dinilai sengaja dimandulkan melalui persetujuan DPR RI.

“Kami ini seperti memakan uang haram saja layaknya apabila DPD tidak diperluas kewenangannya, dimana fungsi yang ada menjadi otonomi DPD RI. Karenanya saya sepakat dengan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, saat mewacanakan penghapusan DPD RI,” ungkap Wakil Ketua DPD RI Benny Ramdhani di Jakarta, Jumat 26 Agustus 2016.

Menurut Benny, hingga kini peran DPD belum mencerminkan mewakili aspirasi daerah. Bahkan dalam Pasal 22 D UUD 1945, kewenangan DPD masih terbatas. “Peraturan itu membatasi bahwa DPD hanya mampu memberi pertimbangan kepada DPR terkait dengan rancangan undang-undang yang tengah dibahas,”ungkap dia.

Benny menuturkan kondisi demikian tidak akan berubah jika DPR tidak segera mengamandemen UUD 1945. Khususnya yang berkaitan dengan kewenangan DPD. Benny pun mengaku telah melobi pihak DPR hingga sampai ke ketua fraksi. Namun hasilnya masih nihil.

Lebih lanjut dia mengatakan alokasi APBN yang diterima setiap anggota DPD RI sebesar Rp 2,5 milyar pertahun atau senilai Rp 1,625 trilyun bagi 130 orang adalam kurun waktu selama 5 tahun. Selain itu, setiap anggota DPD juga menerima fasilitas yang sama dengan koleganya anggota DPR, seperti insentif rapat kerja, kunjungan kerja ke luarnegeri, hingga reses ke daerah kerja.

Komponen pendapatan anggota DPD itu, papar Benny terdiri atas gaji bulanan Rp 70 juta, jatah reses empat kali setahun dengan anggaran Rp 300 juta setiap reses, setiap bulan pulang ke dapil dengan SPPD Rp 24 juta, ada juga FGD empat kali dijatah Rp 35 juta untuk acara diskusi itu.
Selain itu, lanjut dia juga kunker ke luar negeri dua kali setahun dengan jatah Rp 150 juta setiap kali bepergian.

“Pulang dari luar negeri bersih bisa mengantongi 75 juta,” kata dia.

“Jadi semacam uang haram selama DPD tidak bisa menyuarakan aspirasi rakyat daerah yang diwakilinya,” tambah senator asal Sulut itu.

Dia mengatakan pun mempertanyakan seperti apa hasil reses para anggota DPD.

“Hasil reses, jangankan dijadikan untuk apa, gudangnya untuk menyimpan berkas hasil reses pun saya tidak tahu,” sesal Benny.

“Betapa kami merasa sia-sia sewaktu hasil reses, pengawasan, dan budget, kebutuhan DPD tidak bisa ditindaklanjuti langsung oleh DPD terkait kewenangannya melainkan diputuskan melalui paripurna DPR,” keluh dia.

Sementara itu, Adhie M Massardi Pengamat Politik dari Gerakan Indonesia Bersih, menganggap apa yang dikatakan Benny adalah semacam pengakuan dosa.

“Pengakuan dosa anggota DPD. Menggunakan uang negara untuk hal-hal yang tak penting, ini merugikan negara,” cetus Adhie.

Lebih lanjut Adhie berpendapat dirinya mengaku kurang sepakat jika selalu saja DPD mengeluhkan soal minimnya kewenangan. Pasalnya sambung dia, sebagai lembaga perwakilan teritori, DPD kewenangannya luas. Hanya saja, para anggota senator memang nyaris tidak pernah menyuarakan persoalan-persoalan di daerah.

“Kasus Blok Masela, Freeport, reklamasi Pantai Utara, mana suara DPD?” ketus Adhie.

Oleh karenanya dirinya menyarankan DPD mestinya memerankan diri sebagai Duta Teritory.

“Kalau ada persoalan di daerah, panggil bupatinya. Mirip civil society, tekan DPR, tekan eksekutif. Kalau eksekutig bener, DPD bela eksekutif. Kalau eksekutif salah, DPD ngeblok ke DPR. Jadi sebenarnya DPD punya panggung yang besar,” pungkas Adhie.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs