Jakarta, Aktual.com – Pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menghadiri sidang uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“DPR berhalangan, ada surat pemberitahuan karena bersesuaian dengan masa reses,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (13/11).
Adapun agenda sidang untuk perkara dengan nomor register 84/PUU-XVI/2018 beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan pihak terkait.
Perkara ini diajukan oleh terpidana kasus bank century Robert Tantular yang memohon pengujian Pasal 272 KUHAP, Pasal 12 dan Pasal 65 KUHP.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Kamis (18/10), Robert melalui kuasa hukumnya Bonni Alim Hidayat menyatakan bahwa pemberlakuan pasal-pasal a quo telah merugikan pihak Robert selaku pemohon.
Rumusan norma dalam pasal a quo dinilai pemohon tidak mencerminkan rasa keadilan hukum dan kemanfaatan karena pemberlakuannya menyebabkan pemohon menjalani hukuman pidana melebihi aturan.
Pihak penyidik dari Bareskrim Polri dikatakan Bonni dengan sengaja mengajukan perkara pemohon dipisah menjadi enam LP (Laporan Polisi) dan penetapannya bahwa hasil penyidikan sudah lengkap (P-21) dilakukan satu-per satu.
Hal ini menyebabkan pemohon harus menjalani empat kali persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama enam tahun dan mendapatkan empat putusan pengadilan yang berbeda.
Bonni menjelaskan dari empat putusan pengadilan yang dikenakan kepada pemohon, seharusnya Pemohon menjalani hanya satu putusan pidana saja. Namun ternyata pemohon harus menjalani seluruh empat putusan pengadilan tersebut.
Hal ini menyebabkan total maksimum pidana penjara yang harus dijalani oleh pemohon adalah 21 tahun pidana penjara dan tambahan pidana kurungan selama 17 bulan sebagai subsidair pengganti denda.
Oleh sebab itu pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan kedua pasal tersebut.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan