Jakarta, aktual.com – Komisi X DPR RI tengah menggodok Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dengan intensitas tinggi dan dinamika tajam. Isu-isu krusial seperti wajib belajar 13 tahun, akses pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), anggaran pendidikan, hingga perlindungan tenaga pendidik menjadi fokus utama. DPR menegaskan, ini bukan proses instan, karena menyentuh jantung sistem pendidikan Indonesia.
“Banyak yang bilang Panja Sisdiknas diam. Kami bukan diam, tapi sedang bekerja lewat Panja lain,” kata Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian dalam diskusi publik, Selasa (22/7/2025). Dua Panitia Kerja (Panja) dibentuk, yakni Panja Pendidikan Daerah 3T dan Panja Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL), guna menyerap lebih banyak masukan dari akar rumput dan dunia pendidikan nasional yang kompleks.
RUU ini lahir dari kebutuhan menyesuaikan sistem pendidikan nasional dengan amanat Presiden untuk mewujudkan wajib belajar 13 tahun, mulai PAUD hingga SMA sederajat. Kebijakan ini punya konsekuensi besar terhadap kurikulum, pendanaan, hingga infrastruktur pendidikan, terutama di wilayah yang minim akses.
“Kalau ke luar Jakarta, disparitas makin terasa. Kualitas pendidikan makin timpang,” ujar legislator dari Komisi X.
Salah satu keluhan yang disuarakan masyarakat adalah masih sulitnya anak-anak miskin mengakses pendidikan yang layak. Sekolah negeri penuh dan jalur prestasi kerap hanya dinikmati kalangan berada. Sementara sekolah swasta menuntut biaya yang tak mampu dijangkau anak-anak miskin.
Draf naskah akademik RUU Sisdiknas yang diterima Komisi X mengungkap 10 problem mendasar pendidikan nasional, antara lain, ketimpangan dan fragmentasi tata kelola pendidikan, alokasi anggaran 20% dari APBN/APBD belum maksimal, pendanaan pendidikan nonformal dan keagamaan yang timpang, ketidaksesuaian kurikulum dan jaminan mutu antar jenjang. standar nasional pendidikan dan akreditasi yang belum efektif, perlindungan tenaga pendidik nonformal yang belum diatur, belum meratanya layanan wajib belajar 13 tahun, inimnya layanan PAUD berkualitas, urangnya akses pendidikan inklusif bagi kelompok rentan dan lemahnya sistem evaluasi dan pengawasan pendidikan
Komisi X menegaskan, tanpa reformasi mendasar dan pemihakan terhadap wilayah tertinggal serta kelompok rentan, cita-cita “Indonesia Emas 2045” hanya akan menjadi jargon semata.
Testimoni dari seorang guru sekaligus pendiri Rumah Literasi 45 menggugah suasana rapat Komisi X. Dengan suara lantang, ia memaparkan realita di lapangan: 4 juta anak putus sekolah hingga pertengahan 2025, tak adanya sekolah dasar di banyak desa terpencil, hingga kritik terhadap Sekolah Rakyat yang justru dibangun di kota-kota besar.
“Pasal 11 mewajibkan negara menyediakan pendidikan dasar. Tapi banyak desa bahkan tidak punya SD. Bagaimana bisa bicara wajib belajar?” katanya tegas.
Ia juga menyoroti seleksi jalur prestasi di sekolah negeri yang lebih banyak diakses oleh anak-anak kaya yang bisa les privat, bukan mereka yang benar-benar berprestasi tapi miskin.
RUU Sisdiknas yang tengah disusun memiliki 15 bab dan bersifat kodifikasi, bukan omnibus law. Materi hukum dari lima UU utama akan disatukan, UU Sisdiknas (2003), UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, UU Pesantren dan UU Pemerintahan Daerah
Poin penting lainnya, RUU ini mengatur untuk pertama kalinya penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing di Indonesia. Anggota Komisi X Ledia Hanifa menekankan pentingnya perlindungan atas kedaulatan pendidikan nasional dalam menyikapi masuknya universitas luar negeri.
Anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN juga menjadi sorotan tajam. Komisi X menilai distribusinya belum tepat sasaran. Anggaran justru banyak tersedot ke pendidikan kedinasan milik kementerian tertentu, sementara pendidikan umum di daerah miskin kekurangan dana.
“Logikanya nggak nyambung. Yang nikmati lulusan sekolah kedinasan adalah kementerian tertentu, tapi biayanya dari pos pendidikan nasional. Yang umum justru terpinggirkan,” ujar legislator Komisi X.
Realita di lapangan juga menunjukkan banyak sekolah kekurangan kepala sekolah, pengawas, dan penilik. Tumpukan tenaga honorer juga menjadi bukti ketidaksinkronan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya manusia pendidikan.
Komisi X DPR RI menargetkan seluruh proses Panja rampung dalam waktu dekat, agar penyusunan draf RUU dan naskah akademik (drifting) bisa segera dilanjutkan ke tahap pembahasan resmi.
“RUU Sisdiknas ini bukan sekadar regulasi. Ini fondasi masa depan bangsa. Jangan sampai suara dari bawah hanya jadi catatan, bukan perubahan,” tegasnya.
RUU ini, jika dibahas dengan hati dan mendengar suara akar rumput, bisa menjadi batu loncatan menuju sistem pendidikan nasional yang adil, merata, dan menjangkau semua—bukan hanya segelintir.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















