Anggota Komisi VII DPR Ahmad HM Ali

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah didorong merubah Kontrak Karya (KK) Inco Vale Indonesia menjadi izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK) untuk menguasai kembali bijih nikel di pegunungan Verbeek, Sulawesi.

Anggota Komisi VII DPR RI Ahmad HM Ali mengatakan rezim Kontrak Karya merupakan kisah panjang tentang perjalanan kekalahan negara oleh pihak swasta asing.

Sebagai contoh, renegosiasi Kontrak Karya PT Inco generasi kedua mematok besaran pajak penghasilan terhitung sejak 1 April 2008 sebesar 30% yang notabene lebih rendah dibanding sebelumnya yang mencapai 45%.

Kekalahan ini bahkan dapat lebih panjang lagi jika ikut menghitung biaya sosial yang mesti ditanggung oleh masyarakat yang mendiami wilayah operasi, salah satunya ragam konflik sumber daya antara korporasi dengan masyarakat.

Ali menceritakan, pada tahun 2007, Vale, maskapai tambang berbasis Brazil, berhasil mengakuisisi Inco yang pada tahun 1967 memenangkan konsesi bijih nikel di bawah rezim Kontrak Karya berdurasi puluhan tahun, dan luasan areal mencakup 6,6 juta hektar bagian timur dan tenggara Sulawesi.

Buntutnya, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73%, di tahun 2011 PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham ini secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi Kontrak Karya sebagaimana dalam UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.

“PT Vale sebagai salah satu maskapai pertambangan asing mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia,” ujar Ali dalam siaran persnya, Senin (20/8).

Amandemen Kontrak Karya PT Vale memang akhirnya berhasil ditandatangani bersama pada oktober 2014. Sayangnya, amandemen Kontrak Karya tersebut pun dipandang Ali masih menyisakan pertanda kekalahan. Kekalahan utama justru tepat berada dijantung persoalan, yakni divestasi.

PT Vale seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20% kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan pihak swasta dan individu Indonesia) sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40% kepada pihak Indonesia.

Namun alih-alih dikuasai oleh pihak Indonesia, dari 20,49% saham publik, sebagian besarnya justru dimiliki oleh pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri, diantaranya Citybank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas.

“Padahal dalam UU minerba yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51 persen pada tahun kesepuluh sejak produksi,” ungkapnya.

Menurut Ali, jika acuannya perpanjangan KK, maka 51% saham kepada peserta Indonesia sudah harus terealisasi tahun 2006, mengingat KK telah diperpanjang sejak tahun 1996. Namun jika merujuk pada permulaan pemberlakuan ketentuan dalam KK perpanjangan sejak 2008, maka realisasi divestasi 51% saham kepada peserta Indonesia adalah tahun 2018.

“Sehingga apapun basis waktu rujukannya, pemerintah saat ini harus menguasai mayoritas saham milik PT Vale,” tegasnya.

Politisi NasDem ini menilai, terkait isu divestasi saham PT Vale, teridentifikasi setidaknya dua poin pokok kekalahan. Pertama, divestasi saham baru mencapai 20%, itu pun minim kepemilikan peserta Indonesia. Kedua, pelaksanaan divestasi telah melewati batas tempo minimal sepuluh tahun dari waktu perpanjangan KK.

“Fitur kekalahan lain bersangkut paut dengan royalti dan pajak yang sangat terkait dengan isu tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance). Selama ini, publik menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik, namun acap kali abai menuntut hal yang sama pada pihak korporasi besar pertambangan,” kata Ali.

Lebih lanjut ia membeberkan adanya aksi manipulasi pada level produksi sehingga negara dirugikan dalam bentuk resiko penerimaan royalti dan pajak. Dalam kesepakatan amandemen KK, disepakati kenaikan royalti dari 0,9% menjadi 2% dan dapat menjadi 3% ketika harga nikel naik.

Ali melihat terdapat perbedaan laporan Vale Indonesia dan Vale SA sebagai entitas pengendali utama. Dalam laporan PT Vale Indonesia tahun 2013, biaya royalti dan lisensi hanya 0,8% dari total biaya penjualan.

“Yang juga tak kalah janggal, adalah perbandingan antara volume pengiriman dengan jumlah produksi. Selama ini, volume pengiriman PT Vale kepada Vale Canada dan Sumitomo selalu lebih tinggi dibandingkan produksinya, dengan dalih mengimbangi penurunan harga jual,” ucapnya.

Terlebih sektor pertambangan Minerba sebagai sektor berciri padat modal, acap kali menjadi dalih bagi maskapai pertambangan untuk meminta kelonggaran dalam bentuk relaksasi ekspor bahan konsentrat. Dalam frame penyesuaian, hal tersebut boleh jadi masih dalam batas kewajaran.

“Tetapi dalam jangka panjang, kebijakan tersebut justru kontraproduktif dengan semangat dan kepentingan nasional untuk meningkatkan nilai tambah komoditas mineral,” imbuhnya lagi.

Implikasi dari kebijakan relaksasi dalam penyelenggaraan pertambangan mineral bagi PT. Vale Indonesia disampaikan Ali adalah melemahnya insentif untuk mempercepat pembangunan smelter, khususnya di Bahodopi, Sulawesi Tengah dan Pomalaa, Sulawesi Tenggara.

“Tercatat hingga tahun 2018 ini, pembangunan smelter baru di dua lokasi tersebut bahkan belum lagi sampai pada tahapan pra-studi kelayakan, masih jauh panggang dari api,” kata Ali.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan