Buntutnya, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73 persen, di tahun 2011 PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham ini secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi Kontrak Karya sebagaimana dalam UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.
“PT Vale sebagai salah satu maskapai pertambangan asing mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia,” ujar Ali dalam siaran persnya, Senin (20/8).
Amandemen Kontrak Karya PT Vale memang akhirnya berhasil ditandatangani bersama pada oktober 2014. Sayangnya, amandemen Kontrak Karya tersebut pun dipandang Ali masih menyisakan pertanda kekalahan. Kekalahan utama justru tepat berada dijantung persoalan, yakni divestasi.
PT Vale seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20 persen kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan pihak swasta dan individu Indonesia) sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40 persen kepada pihak Indonesia.
Namun alih -alih dikuasai oleh pihak Indonesia, dari 20,49 persen saham publik, sebagian besarnya justru dimiliki oleh pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri, diantaranya Citybank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid