Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan diminta untuk bersikap galak alias tidak lembek terhadap perusahaan pertambangan sektor minyak dan gas (migas) serta mineral dan batubara (minerba).
Selama ini, sektor tersebut sengaja untuk tidak membayar pajak, sekalipun sempat mengalami era booming harga komoditas. Dan kebanyakan mereka adalah perusahaan tambang asing yang melakukan skema transfer pricing.
Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR, Hafisz Tohir, kondisi ini jelas sebuah siasat dari praktik transfer pricing. Dan kebanyakan mereka itu menggunakan sebuah special purpose vehiche (SPV) di luar negeri.
“Ini dilakukan agar keuntungan yang masuk ke dalam negeri tidak nampak besar. Sementara keuntungan sebenarnya ditahan di vehicle mereka di luar negeri. Akibatnya setoran pajak mereka sangat kecil,” tandas Hafisz, kepada Aktual.com, Senin (31/10).
Kejahatan pajak seperti ini harus diberangus oleh aparat pajak. Karena termaauk white collar crime atau kejahatan kerah putih tingkat tinggi.
“Ini jelas skema tranfer pricing. Dan pemerintah atau DJP harus galak terhadap mereka. Jangan kasih ampun lagi,” tandas politisi dari PAN ini.
Dan menurut dia, skema transfer pricing ini mudah dipahami dan dideteksi. Pemerintah tinggal cegat mereka di pelabuhan untuk ekspor. Karena pasti ada data dari Societe Generale de Surveillance (SGS) yang bisa menjadi pegangan. Makanya dia minta, DJP harus tegas bahkan galak terhadap mereka.
“Pemerintah juga harus bisa ungkap kongkalikong di pelabuhan yang selama ini terjadi. Makanya Menkeu dan Dirjen Pajak haru sering melakukan sidak ke pelabuhan. Agar pemerintah segera mengungkapnya,” pungkas Hafisz.
Sebelumnya, DJP merilis data, sejak tahun 2011 ketika harga komoditas minerba tengah melambung, kepatuhan membayar pajak mereka sangat rendah. Dan saat ini, tatkala harganya tengah anjlok, kian memprihatinkan lagi kepatuhan tersebut.
Pada 2011, WP di sektor pertambangan yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak sebanyak 3.307, dan yang tak lapor 2.962 WP. Di 2012, ada 3.081 WP yang lapor dan 2.920 yang tak lapor. Di 2013, ada 2.966 WP yang lapor SPT, dan 3.035 tak lapor.
Kemudian, di 2014, ada 2.841 WP yang lapor SPT dan 3.160 WP tak bayar pajak. Dan tahun lalu semakin memprihatinkan. WP yang lapor SPT cuma 2.577, dan yang tak lapor 3.624 WP.
Sementara untuk KB Pajak Penghasilan (PPh) terutang, untuk nominal kurang dari Rp100 juta jumlah WP-nya ada 2.565. Nominal terutang antara Rp100 juta sampai Rp500 juta sebanyak sembilan WP. Dan nominal lebih dari Rp500 juta ada tiga WP.
“Dari data keikusertaan tax amnesty, dari jumlah WP (wajib pajak) pertambangan minerba dari 6.000 WP, yang ikut tax amnesty cuma 967 WP. Dan WP sektor migas dari 1.114 WP, cuma 68 WP yang ikut tax amnesty. Itu fakta loh,” ujar Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi belum lama ini.
Jumlah yang sedikit itu terlihat pula dari uang tebusan yang diterima DJP. Kata Ken, total uang tebusan dari sektor minerba hanya Rp221 miliar. Sedang total uang tebusan dari sektor migas cuma Rp40,6 miliar.
Dan jika dilihat nominal uang tebusan terendah dari perusahaan yang selama ini dianggap sumber uang juga sangat aneh. Kata Ken, tebusan paling rendah dari minerba Rp 5.000, paling tinggi Rp96,3 miliar, dengan rata-rata Rp226 juta. Sedang di migas paling rendah Rp150 ribu, paling tinggi Rp17,4 miliar. Dengan rata-rata Rp527,2 juta.
“Itu yang mereka laporkan. Benar atau tidak, nanti akan ketahuan pasca tax amnesty berakhir,” ancam Ken.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka