Jakarta, Aktual.com — DPR akan membahas RUU Minuman Beralkohol (minol) untuk disahkan pada paripurna masa sidang mendatang.
Pasalnya, banyak yang berkutat pada segi pelarangan, namun sedikit yang meniliknya dalam aspek pengaturan.
Anggota Komisi X DPR Kresna Dewanta Prosakh menilai setidaknya ada tujuh faktor yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU tersebut.
Faktor pertama, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, pengaturan terhadap keberadaan minuman beralkohol adalah hal penting yang perlu dimasukkan dalam RUU ini.
“Yang tidak kalah pentingnya perlu dipertimbangkan dari RUU tersebut tidak cukup selesai hanya sampai pada kata pelarangan, sedangkan minuman (berakohol) ini masih bebas beredar. Melihat kondisi tersebut, perlu dibuatkan pengaturan yang jelas sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitarnya dengan keberadaan minuman beralkohol,” ujar Dewa di Jakarta, Jumat (10/7).
Faktor kedua, menurut Dewa, perlu ada batasan yang tegas tentang alkohol dalam RUU Minol. Minuman beralkohol yang dimaksud dalam RUU ini adalah minuman yang mengandung etanol (dengan struktur kimia C2 H5 OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.
“Baik itu minuman yang lebih dahulu ada campuran konsentrat lain ataupun dengan cara pengeceran, keduanya berbahan alkohol,” katanya.
Minuman beralkohol dari segi kesehatan dapat menimbulkan kerusakan mental serta gangguan syaraf dan tubuh bagi pengonsumsinya. Selain itu, dari segi sosial, minuman tersebut tidak kalah memberikan efek buruk.
“Tidak dapat dipungkiri juga masih banyak pelaksanaan adat yang melibatkan minuman berbahan dasar alkohol ini,” tutur politisi Nasdem ini.
Faktor ketiga yang mesti diperhatikan, lanjutnya, belum ada definisi pengaturan yang jelas terhadap kepentingan terbatas dalam RUU ini. Kepentingan terbatas yang dimaksud adalah kepentingan adat, kepentingan ritual keagamaan, wisatawan asing, kepentingan farmasi, dan kepentingan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
“Hal ini perlu diatur sehingga jelas perlindungan dan jaminan dari setiap kepentingan terbatas tersebut di dalam rumusan perundang-undangan,” ujarnya.
Karenanya, perlu juga dipertimbangkan kondisi daerah atau tempat yang selama ini menganggap keberadaan minol itu menjadi suatu hal yang wajar dan biasa, seperti di Bali atau Papua. Maka penting adanya aturan yang jelas soal kepentingan terbatas didalam undang-undang nantinya.
Sedangkan keempat, perlu dipertimbangkan agar kehadiran RUU ini diimbangi juga dengan jaminan kepada masyarakat yang selama ini memperoleh penghasilan keluarganya dari tanaman yang menjadi sumber bahan baku minuman beralkohol.
Faktor kelima, selain upaya pengaturan dan preventif, pihaknya berharap peran pemerintah pusat dan daerah tidak hanya sekadar mengeluarkan peraturan dan kebijakan tetapi juga bertanggungjawab dalam melakukan pengawasan dan penegakkan hukum yang tegas serta sosialisasi dari dampak negatif mengkonsumsi minuman beralkohol.
Lalu, perlu adanya harmonisasi RUU Minol ini dengan peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang impor minuman beralkohol. Alasannya, minol import umumnya berkadar alkohol lebih tinggi ketimbang produksi dalam negeri.
“Kemudian (ketujuh), perlu diterapkan pajak yang tinggi bagi minuman beralkohol bermerek impor. Sehingga dapat menekan secara kuantitas keberadaan minol impor yang beredar di Indonesia.”
Artikel ini ditulis oleh: