Menteri BUMN, Rini Soemarno secara resmi telah menandatangani Holding BUMN industri pertambangan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Kebijakan holdingisasi oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno melalui Peraturan Pemerintah (PP) 72 Tahun 2016 telah merisaukan pubik, pasalnya kebijakan ini disinyalir sangat rentan dengan penyimpangan karena telah menghindari atau menghilangkan fungsi pengawasan dari lembaga legislatif.

Anggota Komisi VI DPR, Adang Daradjatun menjelaskan, dengan holding ini; beberapa perusahaan BUMN yang selama ini mendapat pengawasan langsung dari DPR, dimasukkan menjadi anak perusahaan hoding, padahal tegas Adang, dalam UU BUMN dinyatakan bahwa anak perusahaan bukan lagi merupakan perusahaan BUMN, dengan demikian beberapa perusahaan yang dimasukkan kedalam holding menjadi terhidar dari pengawasan DPR.

“Dampak dari hodingisasi, anak perusahaan BUMN, yang awalnya adalah BUMN yang dijadikan anak perusahaan BUMN holding, tidak memiliki kewajiban pertanggungjawaban kepada negara (DPR),” kata Adang saat diskusi dengan tema ‘Jangan Jual BUMN’ di ruang Fraksi PKS, Senayan Jakarta, Rabu (6/12).

Lalu yang juga menjadi kejanggalan, sejak awal Menteri Rini terkesan tidak mau ada gangguan dari DPR. Dia ingin memastikan bahwa rencana holding berjalan lancar, karenanya dengan PP 72 yang ia susun tersebut menegaskan bahwa proses holding tidak butuh persetujuan lembaga legislatif.

Padahal berdasarkan UU BUMN, setiap penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara mesti dibahas melalui APBN.

“Penyertaan modal tanpa melalui pembahasan di APBN akan memberi kelesuasaan kepada pemerintah untuk memindahkan saham BUMN tanpa persetujuan DPR,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka