Belum lagi, mekanisasi yang dilakukan korporasi asing setelah masuk ke Indonesia, pada akhirnya, kemudian membuat jutaan tenaga kerja di industri tembakau nasional menjadi pengangguran karena produksi digantikan mesin semua. Jika itu terjadi, negara kehilangan cukai Rp150 triliun per tahun dan jutaan pekerja menjadi pengangguran.
“Ujungnya negara akan defisit, dan paling pahit dipaksa untuk utang , Indonesia dibuat ketergantungan,” tandasnya.
Industri tembakau, merujuk data Kementerian Perindustrian melibatkan tenaga kerja hingga 6,1 juta orang. Kretek juga telah menjadi sejarah dan budaya masyarakat.
Firman mengkritik berbagai lembaga dan LSM yang terang-terangan dibiayai oleh asing untuk membunuh tembakau. Sangat ironi, meski KTP Indonesia, mereka tidak perduli dengan jutaan petani, kontribusi ekonomi, hingga dampak positif lain tembakau dan hanya melihat satu sudut pandang.
“Mindset mereka sudah terbawa kepentingan transaksi, dengan dalih riset penelitian tapi memojokkan. Justru dana risetnya dari Bloomberg. Lebih ironi lagi, mereka ini tidak pernah mau ke lapangan dan melihat realitas industri dan petani,” tegasnya.
Ia heran, meski industri tembakau memberi kontribusi ekonomi di tengah perlambatan ekonomi dan di tengah sulitnya mencari pekerjaan, namun ketika industri menyediakan tenaga kerja malah dihajar digebuk dengan tidak fair.
Ditambahkannya, dana Bloomberg untuk proyek anti tembakau sudah mengucur kemana-mana. Belum lagi dana transfer industri farmasi dari komisi resep obat itu mengalir ratusan miliar.
Temuan positif tembakau seperti dihasilkan Prof Sutiman Bambang Sumitro MS DSc, guru besar Universitas Brawijaya (UB), yang menemukan Divine cigarette sehingga mampu menjinakkan radikal bebas, juga tidak diendorse karena berbeda kepentingan dengan industri farmasi.
“Setiap konsumsi berlebihan, apapun itu, tidak melulu tembakau, pasti merusak. Namun, mereka tidak pernah mau tahu. Tidak ada riset bahaya asap polusi kendaraan, bahaya junk food, karena tidak ada modali, bandari, berbeda dengan tembakau. Saya mengecam jika hanya melihat tembakau dari satu sisi,” tandas Firman.
Dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, kata dia, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja.
“Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian. Ingat, pabrik senjata juga menimbulkan kematian, kenapa tidak minta Amerika atau Rusia menutup pabrik senjata mereka,” tegas Firman.
Ia mengingatkan, salah satu alasan penjajah datang karena tembakau lokal Indonesia yang kemudian dibawa ke Belanda untuk dijadikan bahan cerutu. Nah, seharusnya, tembakau sebagai karunia Tuhan di sektor pertanian dilindungi dan tidak bisa diabaikan begitu saja di tengah perlambatan ekonomi dan defisit anggaran mencapai Rp 300 triliun.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka