Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Satya Widya Yudha mengatakan saat ini telah terjadi penurunan tingkat konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar pada masyarakat, penurunan ini disinyalir karena masyarakat lebih memilih jenis kualitas BBM yang lebih baik.
“Pertama adalah masyarakat beralih ke BBM lain seperti pertalite atau premium, kasus kedua ada pelemahan perekonomian tapi untuk yang kedua ini agak sedikit lucu karena dari sisi harga solar ini jenis BBM termurah tapi ketika tidak terserap berarti ada indikasi peningkatan daya beli masyarakat tapi masayarakat memilih kualitas BBM yang lebih baik,” katanya, Senin (9/5)
Diketahui stok nasional solar saat ini sudah berada di level yang tinggi yakni diatas 24 hari, bahkan selama tahun 2016 berada di kisaran 30-an hari. Kondisi tahun 2015 pada Juli stok tersedia 27 hari, Agustus 26 hari, September 24 hari, Oktober 24 hari, November 25 hari, Desember 24 hari. Selanjutnya 2016 Januari 28 hari, Februari 27 hari, Maret 28 hari, dan April 33 hari.
Over stok ini menyebabkan krisis daya tampung penyimpanan (krisis Ullage) hingga terjadi inefisiensi akibat penurunan produksi kilang. Untuk mengatasi kondisi tersebut di atas, dengan mengacu risalah rapat direksi Pertamina No.047 tanggal 22 Maret 2016 maka dilakuikan kargo solar dengan harga diskon pada konsumen industri sebesar 105% MOP atau setara dengan Rp4.550/liter. Sebagai informasi harga normal konsumen industri pada saat ini adalah USD53/Bbl
Harga ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga penjualan solar PSO (konsumsi masyarakat) sebesar Rp5.500/liter. dengan kata lain pemerintah saat menetapkan harga solar PSO pada bulan Maret 2016 membuat rakyat Indonesia dipaksa untuk menanggung inefisiensi Pertamina.
Tambah anehnya, meskipun terjadi penurunan konsumsi pada masyarakat hingga menyebabkan over stok dan inefisiensi, namun kebijakan Pertamina masih melakukan impor solar.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan