Tangkapan layar - Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi dalam rapat kerja dengan mitra termasuk KLH di Jakarta, Rabu (12/2/2025) ANTARA/Prisca Triferna

Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Haryadi, menyampaikan keheranannya atas kebijakan Kementerian ESDM terkait kelangkaan BBM di SPBU swasta. Ia menilai kebijakan tersebut membingungkan dan kontraproduktif.

Dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (19/9/2025), Bambang menyinggung catatan kelangkaan BBM yang terjadi di SPBU swasta pada akhir Januari 2025. Menurutnya, hal itu dipicu perubahan skema izin impor.

“Kelangkaan SPBU swasta pernah terjadi akhir Januari 2025 dikarenakan ada perubahan skema izin impor dari 1 tahun menjadi 3 bulan. Dan ini terjadi sebelum kasus Pertamina meledak. Pascakejadian Pertamina, berdasarkan hasil RDP dengan seluruh SPBU swasta dan Pertamina awal Februari (bertepatan dengan rilis kasus Pertamina), akhirnya ESDM mengubah skema menjadi 6 bulan tapi evaluasi tiap 3 bulan,” ujarnya.

Bambang juga mengaku heran dengan penerapan kebijakan impor 1 pintu oleh ESDM. Padahal, menurutnya, Pertamina saat ini sudah dominan di pasar BBM.

“Yang kita bingung dengan kebijakan ESDM adalah penerapan impor 1 pintu untuk menjadikan Pertamina sebagai market leader. Padahal, Pertamina saat ini sudah menjadi market leader karena menguasai 95% penjualan retail melalui SPBU, dan hanya kurang 5% swasta,” katanya.

Politisi Gerindra itu pun menyoroti permintaan ESDM agar swasta membeli BBM ke Pertamina, sementara Pertamina sendiri merupakan importir.

“Kewajiban swasta membeli ke Pertamina sebenarnya juga aneh, karena Pertamina juga importir. Kecuali Pertamina memproduksi BBM berlebih dari kebutuhan yang ada. Ini ibarat sama-sama jualan nasi goreng. Penjual nasi goreng kecil (5%) diwajibkan beli beras ke penjual nasi goreng besar (95%). Padahal penjual nasi goreng besar juga sama-sama beli dari pasar, tidak memproduksi beras sendiri. Ini harus ditinjau ulang,” tegas Bambang.

Menurutnya, negara seringkali terjebak dengan kebijakan kementerian yang tidak disertai mitigasi menyeluruh. “Kasihan Presiden, kadang harus jadi pemadam kebakaran akibat hal-hal kecil yang sebenarnya tidak mengganggu keuangan negara,” ucapnya.

Bambang juga menyoroti kondisi peralihan pasar BBM ke SPBU swasta akibat kasus yang menimpa Pertamina beberapa waktu lalu. “Kalau alasannya kuota swasta naik, ini adalah akibat penurunan pembelian masyarakat ke Pertamina akibat kasus. Ada peralihan market, bukan penambahan kebutuhan,” ujarnya.

Ia memberikan saran jika memang Pertamina perlu diperkuat. “Jika kita mau bantu Pertamina, langkah yang seharusnya diambil adalah memberikan dispensasi kebijakan khusus ke Pertamina sehingga produknya lebih murah atau ubah strategi pemasaran, misalnya dengan promosi untuk menaikkan public trust,” katanya.

Namun, ia menolak kebijakan yang dianggap memaksa swasta membeli BBM ke Pertamina. “Memaksakan beli ke Pertamina di tengah upaya mengembalikan kepercayaan publik kepada Pertamina, dan dengan mewajibkan SPBU swasta beli ke Pertamina sebenarnya malah semakin menurunkan kepercayaan publik ke Pertamina. Karena kesannya Pertamina menggunakan kebijakan pemerintah untuk merebut pasar. Dan swasta akan semakin jadi idola, karena terkesan dizalimi,” pungkas Bambang.

Ia pun mengingatkan kembali dasar konstitusi dalam pengelolaan ekonomi nasional. “Kita juga harus ingat bahwa pasal 33 UUD 1945 ayat 1 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan,” imbuhnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain