Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah Zubir mengkhawatirkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 1 berkapasitas 1.600 MW yang dibangun di atas lahan reklamasi laut, bakal memicu polemik.
“Kalau harus reklamasi, nanti menimbulkan polemik dan akhirnya proyek bisa terkatung-katung,” katanya di Jakarta, Jumat (23/9).
Menurut politisi Partai Hanura tersebut, PT PLN (Persero), sebagai penyelenggara tender PLTGU Jawa 1 dengan nilai proyek sekitar Rp30 triliun, mesti cermat dan hati-hati dalam memilih pemenangnya.
PLN, lanjutnya, juga harus bersikap adil dan transparan, mengingat terdapat anak perusahaan yang ikut dalam tender tersebut yakni PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).
“Pemenang haruslah yang terbaik dan jangan sampai ada informasi khususnya harga yang bocor,” katanya mengingatkan.
Pengamat energi UGM Fahmy Radhi juga berharap PLN menjalankan tender PLTGU Jawa 1 secara adil, profesional, objektif, dan memenangkan peserta yang memang terbaik.
“Jangan sampai ada kongkalikong,” kata mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu mengingatkan. PLN kini tengah melaksanakan tender proyek PLTGU Jawa 1 berkapasitas 1.600 MW senilai Rp30 triliun.
Terdapat empat peserta tender tersisa yakni konsorsium Adaro-Sembawang Corp, konsorsium Medco-Nebras, konsorsium Pertamina-Marubeni-Sojitz, dan konsorsium Mitsubishi-PJB-Rukun Raharja.
Opsi lokasi titik serah penjualan listrik sesuai persyaratan tender adalah Muara Tawar, Bekasi dan Cibatu Baru, Bekasi.
Konsorsium Adaro, Medco, dan Mitsubishi diketahui kemungkinan memakai lahan dari hasil reklamasi laut di sekitar Muara Tawar.
Sedangkan, Pertamina diuntungkan karena akan memanfaatkan lahan sendiri di Cilamaya yang berdekatan dengan Cibatu Baru.
Sebelumnya, pengamat energi Fabby Tumiwa meminta PLN mempertimbangkan faktor ketersediaan lahan dalam menentukan pemenang tender proyek PLTGU Jawa 1.
“Ketersediaan lahan ini penting karena terkait kemampuan peserta tender menyelesaikan proyek PLTGU secara tepat waktu dan sekaligus juga faktor biaya proyek, apakah menjadi lebih mahal atau tidak,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) itu mengkhawatirkan, kalau harus memakai lahan melalui reklamasi laut, maka penyelesaian proyek (commercial on date/COD) PLTGU bakal lebih lama, karena membutuhkan banyak proses perijinan dan juga amdal yang jauh lebih kompleks.
Menurut dia, PLN perlu mempertimbangkan, jika pengoperasian PLTGU terlambat, apakah bisa berakibat negatif pada pasokan listrik atau berdampak pembengkakkan biaya-biaya lainnya.
“Faktor-faktor ini perlu menjadi alasan dan pertimbangan menentukan pemenang tender. Kalau dampaknya ternyata lebih besar dari keuntungan biaya konstruksi, maka PLN harus mencari pemenang tender lainnya,” katanya.
PLTGU Jawa 1, yang dibangun menggunakan skema pengembang swasta (independent power producer/IPP), merupakan bagian proyek 35.000 MW dengan target operasi pada 2019.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka