Wakil Ketua Umum KADIN ini menegaskan hingga kini ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan di Indonesia. Pertama, kendala lahan pertanian yang kian berkurang karena kebutuhan pembangunan yang terus meningkat. Kedua, dampak perubahan iklim global yang ekstrim. Ketiga, kondisi pertanian Indonesia didominasi petani kecil dengan kepemilikan lahan yang sangat kecil rata-rata hanya sekitar 0,5 hektar, sehingga mengakibatkan kesulitan terhadap akses permodalan, pasar, informasi dan teknologi.

“Keempat, proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan masih cukup tinggi sekitar 10-20 persen. Kelima, ketidakseimbangan produksi pangan antar wilayah. Akibatnya, daerah Jawa yang subur mempunyai produksi pertanian yang besar. Sementara, daerah luar Jawa produksinya relatif kecil karena lahannya kurang subur,” ujar dia.

Lebih jauh Bamsoet mengingatkan, dunia sempat mengalami beberapa kali krisis pangan global. Di tahun 2008, Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan naiknya angka kelaparan global mencapai 40 juta jiwa. Pada tahun 2016, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan sebanyak 815 juta orang di dunia menderita kelaparan. Jumlah tersebut sama dengan 11 persen pupulasi penduduk dunia.

“FAO juga melansir 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun ditengah 815 juta orang menderita kekurangan pangan di seluruh dunia. Ini ironis sekali. Kita bisa wujudkan dunia tanpa kelaparan dimulai dari diri sendiri. Mari belajar bersyukur dari hal-hal yang kecil seperti tidak membuang-buang makanan,” ajak Bamsoet.

Politisi Partai Golkar ini optimis pilot project lahan rawa lebak dan pasang surut yang dijadikan lahan pertanian oleh Kementerian Pertanian di Desa Jejangkit Muara Kalimantan Selatan, akan berhasil. Diatas lahan seluas 4.000 hektar dimana 750 ribu diantaranya sudah ditanami padi, akan bisa menopang stok beras nasional di masa paceklik yang biasa terjadi pada Desember – Januari akibat usainya panen padi di pulau Jawa.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara