Jakarta, Aktual.com – DPR RI mengusulkan penggunaan hak angket jika Presiden RI Joko Widodo tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahya Purnama atau Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI.
Pemberhentian sementara itu diatur Undang-undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3. Sebagaimana diketahui, Ahok merupakan terdakwa kasus penistaan agama yang telah menjalani sembilan kali sidang.
Menanggapi pengguliran hak angket, pengamat politik Ray Rangkuti sedikit mengkritik usulan tersebut. Pasalnya, hak angket maupun pansus sudah terlalu biasa menjadi kuncian para anggota dewan mengatasi suatu masalah, namun nihil hasil.
“Ini sudah agak sering pansus dan angket. Sejauh sepanjang yang saya tahu pansus dan angket yang benar terwujud enggak ada, dipelajari dulu kasusnya. Isu pansus dan angket karena sudah terlalu sering,” ujar Ray di Jakarta, Minggu (12/1).
Perlu diingatkan, lanjutnya, hak angket berada satu level diatas rapat dan satu level dibawah pemakzulan. Oleh karena itu, menurutnya, DPR jangan mudah mengobral isu angket jika bukan suatu hal yang mendasar.
“Lama-lama angket dan pansus menjadi isu murahan. Harusnya DPR dijaga marwah kalau berbicara angket, publik akan menduga ada salah satu hal serius.”
“Ini mendengar angket dan pansus seperti rapat biasa enggak ada yang surprise. Jangan-jangan nanti kalau benar-benar angket, publik justru tak mendukung.”
Untuk itu, dalam menyikapi kasus pemberhentian sementara Ahok, Ray mengusulkan agar DPR memanggil Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk dimintakan pertenggungjawaban dan klarifikasinya.
“Panggil Mendagri, kenapa surat penonaktifan Ahok tidak dikeluarkan. Katika rapat itu berbicara, ini belum ada klarifikasi udah main angket. Angket jangan jadi isu harian.”
“Kalau dibaca itu angket penyelidikan tidak dimungkinkan rapat biasa, belum nanya sudah angket. Panggil dulu benar enggak tafsir Mendgari, berdebat dulu.”
Laporan: Nailin In Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu