Jakarta, Aktual.co — Komisi VII DPR RI meminta pemerintah melakukan revisi PP Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan terkait dengan status BBM dan BBG sebagai barang berbahaya.
“Dalam PP itu disebutkan bahwa BBM dan BBG adalah barang berbahaya yang dikenakan tarif bongkar dan muat di pelabuhan,” tutur Ketua Komisi VII Kardaya Warnika dalam rapat kerja dengan Kementerian ESDM di Jakarta, Senin (30/3) malam. Menurut dia, implementasi peraturan tersebut akan membebani masyarakat karena mendorong kenaikan harga BBM yang disebabkan pungutan biaya pengawasan sebesar Rp25.000 per kilogram.
Sependapat dengan Kardaya, Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang menuturkan bahwa seharusnya ada amandemen (perbaikan) dari PP tersebut yaitu dengan memasukkan BBM dan BBG dalam kategori barang tidak berbahaya.
Sebagai akibatnya, sejak peraturan tersebut diterapkan pada 25 Maret lalu, pihaknya tidak berani memasok BBM dan BBG untuk beberapa wilayah sebelum ada kejelasan bahwa muatannya tidak akan dikenakan biaya tambahan di pelabuhan. “Sampai hari ini di lokasi-lokasi yang belum jelas kami harus bayar atau tidak, sengaja tidak kami kirim, contohnya Makassar,” ujarnya.
Untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan PP tersebut, Menteri ESDM Sudirman Said mengaku sudah bicara dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan menyepakati bahwa kedua komoditas tersebut tidak termasuk dalam kategori barang berbahaya seperti yang dimaksud dalam PP. “Kami melihatnya ini koordinasi yang masih dalam proses, butuh waktu untuk menuangkan hasil diskusi dalam bentuk amandemen PP,” tuturnya.
Sebelumnya Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria juga mendesak pemerintah merevisi peraturan tersebut karena biaya pengawasan yang ditetapkan akan lebih tinggi daripada harga BBM itu sendiri. “Misalnya harga solar nonsubsidi dikonversi dari liter ke kilogram, maka harga Rp9.600 per kilogram ditambah harga tarif pengawasan yang dikenakan Rp25 ribu per kilogram, kan jadi mahal sekali,” tuturnya.
Ia juga mempertanyakan apakah dalam penyusunan PP Nomor 11/2015 itu tidak menjadi perhatian dari para penyusun peraturan karena impelementasi atas PP tersebut sangat berpotensi melumpuhkan kehidupan negeri ini dan akan menimbulkan dampak besar bagi perekonomian nasional.
Sofyano mendesak Menteri ESDM segera berkoordinasi dengan Menhub dan Menko Perekonomian, serta Menko Kemaritiman untuk membahas PP Nomor 11/2015 tersebut sebelum masyarakat maritim mempermasalahkan keberadaan PP tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:













