Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah menyiapkan kebijakan yang mampu mendorong eksportir mengonversi devisanya di perbankan nasional ke dalam rupiah, guna memperbesar likuiditas valuta asing dan mengurangi tekanan terhadap rupiah.
“Selama ini yang bergerak di pasar hanya Bank Indonesia. Untuk itu Pemerintah melalui kebijakannya perlu mendorong eksportir yang devisanya di bank, terutama di bank BUMN, untuk mengonversi dolar AS mereka ke rupiah,” jelas Andreas melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (31/8).
Dia mengatakan kebijakan yang berorientasi untuk menarik devisa dan konversi valas dari para eksportir ke rupiah diperlukan dalam kerangka menyeimbangkan persediaan dan permintaan terhadap dolar AS.
“Aksi yang menonjol sekarang adalah kebijakan pemerintah berorientasi pada sisi permintaan, sementara sisi persediaan kurang mendapat prioritas,” jelasnya.
Menurut Andreas, Pemerintah harus menyadari bahwa outlook ekonomi Indonesia dalam jangka panjang masih dipandang potensial di kalangan investor, namun harus diakui bahwa dalam jangka pendek saat ini perekonomian sedang mengalami turbulensi.
“Dalam situasi seperti sekarang Pemerintah jangan terjebak pada perdebatan apakah Indonesia sudah masuk fase krisis atau belum,” kata dia.
Andreas mengingatkan jika pemerintah terseret pada perdebatan tersebut justru akan kontraproduktif, menguras energi dan menunjukkan kepanikan. Selain itu perdebatan justru akan meningkatkan sentimen negatif pasar yang sedang menunggu aksi cepat pemerintah.
Dia mengusulkan dalam jangka pendek, revisi RAPBN 2016 secara fundamental harus dilakukan. Alasannya, RAPBN 2016 saat disusun belum mempertimbangkan situasi terkini terutama devaluasi yuan di Tiongkok dan kondisi menuju perang harga minyak.
Dia menilai kecenderungan yang menonjol adalah RAPBN 2016 hanya mengantisipasi kenaikan suku bunga FED yang ternyata juga belum pasti kapan akan dieksekusi.
Andreas memandang perlambatan perekonomian Indonesia sekarang ditandai antara lain menurunnya pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun secara berturut-turut, di mana kuartal satu tahun 2013 tumbuh 5,6 persen, kemudian kuartal satu 2014 turun menjadi 5,1persen dan kuartal satu 2015 kembali merosot ke angka 4,7 persen.
Faktor pelambatan itu berasal dari eksternal (global) yakni perang mata uang (“currency war”), kebijakan devaluasi Tiongkok, dan rencana kenaikan suku bunga FED. Sedangkan faktor internal yakni struktur perekonomian yang rapuh.
“Saat ini di Indonesia sektor yang mulai terpukul adalah sektor industri berbahan baku impor yang produknya mengandalkan pasar dalam negeri dan capital market. Pemerintah wajib mengantisipasi agar pukulan itu tidak merembet ke sektor riil yang lebih luas, karena jika sektor riil terpukul dampak selanjutnya adalah sektor perbankan berpotensi terseret,” jelasnya.
Oleh karena itu Andreas meminta pemerintah segera mendorong eksportir mengonversi dolarnya ke dalam rupiah.
Selain itu Pemerintah harus membentuk kebijakan yang menjamin kestabilan harga kebutuhan pokok, mengkaji ulang rencana kenaikan harga elpiji tiga kilogram, serta memastikan pencabutan subsidi tarif dasar listrik tidak memukul sektor UMKM.
Pemerintah juga diminta benar-benar mempertimbangkan daya beli masyarakat yang semakin menurun dan beban hidup yang semakin berat.
“Pemerintah bisa mendongkrak daya beli masyarakat dengan peningkatan distribusi pendapatan. Caranya antara lain memperbanyak proyek-proyek padat karya di sektor pertanian, pariwisata, investasi dalam negeri dan penjadwalan ulang proyek-proyek yang pendanaannya belum jelas sehingga hanya akan memperbesar utang dan defisit primer,” jelas Andreas.
Artikel ini ditulis oleh: