Selain itu, dalam RUU ini juga diatur mengenai reward dan punishment kepada pelaku kebudayaan, masyarakat, hingga korporasi yang berkepentingan terhadap kebudayaan. Reward yang diatur dalam RUU, dan menjadi semangat dalam RUU ini adalah penghargaan bukan sebatas sertifikat semata. Namun adanya suatu penghargaan yang lebih bermakna dan mempunyai arti untuk penggiat dan pelaku kebudayaan.

“Misalnya kalau seseorang terbukti mengharumkan nama bangsa, memungkinkan ketika dia meninggal, dimakamkan di taman makam pahlawan (TMP) dan mendapat bintang perhargaan yang sesuai dengan prestasinya, sehingga bisa dikategorikan layak dimakamkan di TMP. Hal ini dalam konteks kontribusi dan berprestasi luar biasa terhadap budaya ini. Sehingga pemberian penghargaan ini tidak sembarangan diberikan,” jelas Ferdi.

Sementara untuk punishment atau hukuman, Ferdi menjelaskan bahwa hal itu akan ditujukan kepada setiap orang atau lembaga yang merusak, menghalangi, bahkan menghancurkan objek pemajuan budaya. Punishment itu bisa dikenakan sanksi, sesuai dengan sanksi yang ada.

“Misalnya, hukuman kurungan lima tahun dan denda Rp 10 miliar. Jika yang melakukan adalah korporasi, maka akan punishment diberlakukan sebesar tiga kali lipat dibanding perorangan,” jelas politisi F-PG itu.

Sementara untuk penganggaran dalam upaya pemajuan kebudayaan, Ferdi menjelaskan adanya diversifikasi pencarian sumber dana. Sehingga, anggaran tidak hanya melalui APBN, APBD atau dari masyarakat, tapi juga sumber dana lainnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid