Para penyidik pun, kata dia, sulit untuk menelusuri kembali transaksi tersebut karena tidak tercatat dalam sistem keuangan.
“Bahkan, pembiayaan sejumlah aksi teror juga melalui transaksi tunai, baik dari dalam maupun luar negeri. Karena transaksi tunai dan tidak tercatat, aparat berwenang sulit untuk melakukan pelacakan,” kata Bamsoet.
Politikus Partai Golkar itu menambahkan, besaran jumlah transaksi tunai di suatu negara memiliki korelasi dengan indeks korupsinya.
Negara dengan jumlah transaksi tunainya tinggi, katanya, memiliki persepsi tingkat korupsi yang lebih buruk dibandingkan dengan negara yang transaksi tunainya rendah.
Bambang mencontohkan, negara-negara seperti India, Bulgaria, Rusia, dan Indonesia memiliki transaksi tunai di atas 60 persen, sehingga memiliki persepsi tingkat korupsi yang buruk.
Sementara itu, Denmark, Swedia, dan Finlandia, transaksi tunainya rendah atau hanya sekitar 10-20 persen, sehingga memiliki persepsi tingkat korupsi sangat rendah.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid