DKI Jakarta
Ilustrasi Kantor Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. DOK/NET

Jakarta, Aktual.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI merasionalisasikan anggaran penanganan banjir pada 2023, karena Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas (KUA-PPAS) APBD tahun 2023 untuk penanganan banjir belum mumpuni.

“Perlu rasionalisasi agar anggaran kegiatan penanganan banjir tahun depan berjalan efektif,” kata Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi di Jakarta, Selasa (1/11).

Saat rapat pembahasan KUA-PPAS APBD 2023, Prasetyo mencontohkan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tidak rasional mengusulkan anggaran penanganan banjir di Jakarta Selatan sebesar Rp193 miliar.

“Padahal pekerjaannya banyak sekali, pekerjaan rumahnya banyak sekali ini,” tutur Ketua DPRD DKI itu.

Diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan penanggulangan banjir, penuntasan kemacetan dan antisipasi resesi ekonomi sebagai tiga program yang diprioritaskan dalam KUA-PPAS APBD 2023.

KUA-PPAS APBD 2023 itu merinci untuk anggaran penanggulangan banjir sebesar Rp1,29 triliun yang terdiri dari Jakarta Pusat mencapai Rp219 miliar, Jakarta Utara (Rp247 miliar), Jakarta Barat (Rp236 miliar), Jakarta Selatan (Rp193 miliar), Jakarta Timur (Rp296 miliar), dan Kepulauan Seribu (Rp105 miliar).

Untuk penanganan kemacetan sebesar Rp625 miliar yang terdiri dari Jakarta Pusat (Rp111 miliar), Jakarta Utara (Rp130 miliar), Jakarta Barat (Rp122 miliar), Jakarta Selatan (Rp113 miliar), dan Jakarta Timur (Rp149 miliar).

Lalu untuk antisipasi resesi ekonomi 2023 sebesar Rp120 miliar yang terdiri dari Jakarta Pusat (Rp21 miliar), Jakarta Utara (Rp17 miliar), Jakarta Barat (Rp20 miliar), Jakarta Selatan (Rp19 miliar), Jakarta Timur (Rp24 miliar), dan Kepulauan Seribu (Rp19 miliar).

Dengan postur tersebut, Wakil Ketua Banggar DPRD DKI Jakarta Khoirudin juga menilai postur tersebut belum mampu mengeksekusi dengan baik untuk tiga program prioritas yang diusung tahun depan, terlebih, dalam nomenklatur yang tampak masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Keseriusan kan dilihat dari anggaran. Kesan copy paste masih ada. Perlu diimbau para walikota agar jangan ragu membuat terobosan untuk menyelesaikan permasalahan secara permanen,” ucapnya.

Ia berharap seluruh wali kota dan bupati di DKI Jakarta dapat membuat terobosan baru yang dapat merealisasi target genangan air dapat surut maksimal enam jam, melebarkan ruas jalan yang sebanding dengan pertumbuhan kendaraan, serta meningkatkan pelatihan kepada para usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk menekan angka pengangguran.

“Harapannya keluhan masyarakat terhadap banjir sudah tidak sekenceng hari ini. Lalu mengadakan pelatihan yang bukan hanya seremonial, tapi tidak difikirkan tindak lanjut setelahnya. Itu yang kita sayangkan, harus kita kawal dari awal perencanaan sampai betul-betul mereka bisa berusaha sendiri,” ucapnya.

Anggota Banggar Matnoor Tindoan juga menilai anggaran Rp1,2 miliar sangat tidak masuk akal untuk melakukan pencegahan apalagi mengatasi banjir yang menjadi langganan sejumlah warga Ibu Kota.

Bahkan ia menyoroti masih lemahnya pengawasan Pemkot di wilayah tersebut yang mengakibatkan sulitnya melakukan mitigasi.

“Saya tidak melihat pemerintah DKI ini konsisten terhadap penanggulangan banjir, karena pada sisi lain pencegahannya sangat lemah dilakukan. Semestinya daerah tangkapan air dipertahankan, tapi ini kan tidak. Contohnya di daerah tangkapan air dari taman mini ke monumen pancasila sakti sepanjang lima kilometer sekarang jadi gedung pertemuan, dan shoowroom,” ucapnya.

Anggota Banggar lain, Yusriah Dzinnun juga mempertanyakan kematangan perencanaan Pemprov dalam memporsikan anggaran untuk antisipasi dampak resesi ekonomi. Sebab menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta Utara yang memiliki angka kemiskinan paling tinggi yakni 7,24 persen, justru mendapat porsi anggaran paling kecil dari wilayah lain.

“Jadi artinya angka miskin dan mendekati miskin di Jakarta Utara lebih besar daripada daerah lain, tetapi mendapatkan proporsi yang lebih sedikit ketimbang daerah lain. Saya mempertanyakan bagaimana sebetulnya keberpihakan teman-teman dari Jakarta Utara terhadap angka UMKM dan dalam rangka penanggulangan krisis resesi ekonomi,” ucapnya.

Dalam rapat tersebut, Asisten Perekonomian dan keuangan Setda Provinsi DKI Jakarta Sri Haryati memaparkan sejumlah program prioritas untuk menuntaskan tiga masalah besar yang jadi momok menakutkan warga Jakarta.

Pertama untuk menuntaskan antisipasi resesi ekonomi, Pemprov akan menjaga kestabilan pangan dengan meningkatkan “market share” dengan harapan harga bisa dikendalikan.

“Tahun 2023 kita juga mengusulkan anggaran untuk subsidi pangan ini sebesar Rp984 miliar dan nantinya tentu ini bisa juga menjaga inflasi. Dalam rangka pengendalian inflasi sektor pangan, ada pembelian produk strategis di Darma Jaya,” ucapnya.

Selain itu, untuk menghadapi resesi, Pemprov juga akan mengadakan program pengembangan UMKM dengan mengajarkan berbagai pelatihan keterampilan di lima provinsi dan kabupaten.

“Mulai dari pendaftaran, pendampingan permasalahan dan lain-lain sampai terakhir kita juga mendampingi dalam konteks permodalan,” tuturnya.

Selanjutnya untuk penanganan kemacetan, Pemprov akan menambah Public Service Obligation (PSO) untuk meningkatkan kenyamanan dan subsidi untuk warga yang ingin memanfaatkan transportasi publik.

“Kemudian juga kita melalui hibah ke Polda Metro Jaya kita juga ingin mendorong di tahun 2023 ini electronic traffic Law enforcement atau kita kenal dengan ETLE sudah diterapkan optimal, juga Dinas Bina Marga dan Dinas Perhubungan terkait dengan marka jalan, untuk mengendalikan kemacetan,” ungkapnya.

Sedangkan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Atika Nurahmania menjelaskan untuk penanggulangan banjir, kegiatan yang menjadi fokus yakni pembangunan pintu air atau bendung pengendali banjir, penyediaan drainase perkotaan dan sarana penduduknya, operasi dan pemeliharaan sistem drainase, operasi dan pemeliharaan pompa banjir, juga penyediaan jasa pemeliharaan, biaya pemeliharaan dan perizinan alat besar.

“Jadi dengan demikian di dalam spesifikasi tiap wilayah telah kami sampaikan kegiatan-kegiatan yang mendukung pencapaian target pada penyelesaian tiga prioritas besar tersebut,” tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arie Saputra