Gedung bank bjb. Aktual/HO

Jakarta, Aktual.com – Aroma skandal keuangan kelas kakap kembali terendus di tubuh perbankan daerah. Mantan Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renaldi, kini resmi berstatus tersangka di dua lembaga penegak hukum sekaligus: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Situasi ini memunculkan pertanyaan publik: sedalam apa akar dugaan korupsi yang melibatkan mantan orang nomor satu di Bank BJB ini? Dan bagaimana skema korupsi ini bisa lolos dari sistem pengawasan keuangan di tiga bank daerah sekaligus?

KPK lebih dulu menetapkan Yuddy sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan iklan di Bank BJB periode 2021–2023, pada 13 Maret 2025. Namun, cerita tak berhenti di situ.

Empat bulan berselang, Kejagung menyusul dengan menetapkan tersangka atas kasus yang berbeda, yakni dugaan korupsi dalam pemberian kredit jumbo dari tiga bank daerah: Bank BJB, Bank DKI, dan BPD Jateng kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) beserta entitas anak usahanya.

“Tentunya akan dilakukan koordinasi agar proses hukum keduanya tetap dapat berjalan dengan baik,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Selasa (22/7), merespons penetapan tersangka ganda terhadap Yuddy.

Satu Nama, Dua Kasus, Tiga Bank: Di Mana Sebenarnya Pusat Permasalahan?

Skema kredit jumbo kepada Sritex—perusahaan tekstil raksasa yang tengah dililit isu restrukturisasi dan gagal bayar—menjadi sorotan tajam. Dugaan muncul bahwa proses pemberian kredit tidak memenuhi prinsip kehati-hatian perbankan dan dilakukan dengan intervensi kekuasaan internal.

Sumber internal yang enggan disebutkan menyebut bahwa besaran kredit yang dikucurkan diduga mencapai ratusan miliar rupiah, tanpa analisis kelayakan risiko yang memadai.

Sementara di sisi lain, proyek iklan Bank BJB yang disidik KPK diduga sarat permainan vendor fiktif dan mark-up anggaran. Dugaan penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sistemik, melibatkan jaringan internal yang terorganisir.

“Konstruksi lengkap perkaranya, termasuk siapa saja yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan apakah ada potensi penahanan, akan segera kami sampaikan,” tambah Budi.

Pertarungan Yurisdiksi atau Perburuan Bersama?

Kondisi ini menciptakan dinamika tak biasa: satu tersangka, dua lembaga, dua kasus yang terpisah namun beririsan secara institusional. KPK masih menggenggam penyidikan kasus iklan, sementara Kejagung mulai mengobrak-abrik sisi kredit macet yang melibatkan nama-nama besar di industri perbankan daerah.

Apakah ini akan memunculkan potensi tumpang tindih atau justru membuka pintu kolaborasi strategis antarlembaga hukum?

Pengamat hukum dari Lembaga Transparansi Keuangan Publik (LTKP), Fahmi Adnan, menilai bahwa fenomena ini bisa menjadi momentum konsolidasi besar-besaran dalam penegakan hukum sektor keuangan.

“Kasus Yuddy bisa menjadi pintu masuk membongkar karut-marut pengelolaan bank daerah yang selama ini terlalu nyaman dalam bayang-bayang oligarki lokal,” kata Fahmi.

Bank Daerah dalam Bahaya?

Kejagung belum membeberkan secara gamblang total kerugian negara, namun indikasi sementara menyebut angka bisa menyentuh ratusan miliar rupiah. Jika terbukti, skandal ini bisa menjadi salah satu kasus korupsi perbankan daerah terbesar dalam dua dekade terakhir.

Kini publik menanti: apakah ini hanya puncak gunung es dari jaringan korupsi terstruktur di tubuh bank daerah?

Dan apakah penetapan tersangka terhadap Yuddy Renaldi akan menyeret nama-nama lain di lingkaran direksi, komisaris, hingga pejabat daerah yang turut menikmati manisnya “komisi diam-diam”?


Investigasi Belum Usai

Redaksi Aktual.com akan terus menelusuri jejak transaksi mencurigakan dan pihak-pihak yang berpotensi terlibat dalam dua perkara yang menjerat Yuddy Renaldi. Perburuan hukum kini bukan sekadar urusan individu—melainkan soal menyelamatkan integritas sistem perbankan daerah yang rentan jadi ladang basah korupsi berjamaah.

Indonesia belum selesai dengan korupsi. Tapi publik berhak tahu siapa yang bermain di balik layar uang rakyat.