Jakarta, aktual.com  – Kota Jakarta Timur memiliki sentra mainan anak di Kecamatan Jatinegara, yaitu Gembrong dan Pasar Cipinang Besar, keduanya memiliki kisah kontras. Yang satu terus berkembang pesat, satunya lagi sekarat menanti ‘lonceng kematian’.

Siang itu Pasar Gembrong di Kelurahan Cipinang Besar Selatan kian subur menjadi ‘surga’ mainan untuk anak. Ribuan produk merek lokal maupun impor dibanderol ‘miring’. Selama kuat menawar, barang setengah harga pasaran pun bisa dibawa pulang.

Pada kios seukuran 5 x 6 meter persegi berpapan nama Holanda, Unan (53), tersenyum cerah menyambut kedatangan Michael bersama sang ayah yang sudah kali ketiga menyambangi kios di hari yang sama.

Michael Joseph, begitu nama lengkap bocah berusia lima tahun berperawakan mungil itu, bergegas turun dari pundak Richard dan menghampiri mobil-mobilan yang berderet di teras kios dengan penuh minat.

“Percaya kan pak?, Kalau di saya tuh harganya emang yang paling murah. Sini nak turun, mobilnya udah siap tuh, kasian papahnya capek,” kata pria yang karib disapa Pak Haji itu.

Dari balik kemudi mobil remote control Jeep ‘Land Rover’ berwarna putih hitam, tangan Michael bergerak lincah memutar-mutar stir. Sementara Richard, sang ayah, mengarahkan mobil yang ditunggangi putranya lewat remote control tanpa kabel.

Menjelang perayaan Natal memang sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga Richard berburu mainan anak di Pasar Gembrong. “Niatnya sih ngajak anak main ke car free day, tapi pas pulang Michael ngerengek minta mainan, jadi sekalian aja biar pas Natal gak usah beli lagi,” kata Richard.

Mobil bermesin aki buatan Cina itu akhirnya dilepas Pak Haji dengan harga Rp1,6 juta. Harga itu disebut Richard menjadi yang paling murah dibandingkan produk sejenis pedagang mal yang harganya berkisar Rp3 juta hingga Rp4 juta per unit.

Meski mengaku hanya untung ‘tipis’ dari setiap dagangan yang terjual kepada konsumen, tapi dari kios di RT09 RW10 Cipinang Besar Selatan itulah gelar haji mampu diperoleh Unan dari Tanah Suci.

Sejak 2010 Unan mulai merintis usaha dagang mainan di sisi trotoar Jalan Jenderal Basuki Rahmat bersama ratusan pedagang lainnya yang merupakan pendatang dari Indramayu, Cirebon, hingga Kota Medan.

Lokasi berdagang yang dianggap strategis sebagai titik sentral di Provinsi Jakarta, membuat konsumen domestik maupun mancanegara dengan mudah berdatangan.

Harga murah

Seorang mantan distributor mainan Pasar Gembrong, Wiski (48), menyebutkan bahwa harga murah mainan dipengaruhi pola dagang pengusaha di Tiongkok yang piawai dalam meniru bentuk mainan dari sejumlah produsen ternama.

Misalnya pola jahitan pada boneka keluaran Disney yang diproduksi sedikit melenceng dari aslinya untuk menghindari pelanggaran hukum atas merek dagang.

“Biasanya kemiripan barang bisa 95 persen, paling jahitan pipi atau mata yang dibuat agak berbeda, yang penting mirip karakter aslinya. Produsen Tiongkok juga menyiasati dari kualitas bahan dibawah standar asli,” katanya.

Miniatur gerobak ice cream yang bisa didorong anak balita lengkap dengan perabotan berbahan plastik, jadi salah satu dagangan yang kini banyak peminatnya. Hampir di setiap kios, produk itu terpampang di etalase toko hanya dengan harga Rp85 ribu per unit atau relatif lebih murah dari produk serupa berkisar Rp500 ribuan.

Setidaknya dalam sepekan sejumlah produsen mainan dari Tiongkok datang langsung ke Pasar Gembrong untuk mempromosikan produk terbaru mereka. Tak kurang dari sebulan, apa pun jenis produk terbaru produsen resmi, mampu ditiru pengusaha negeri Tirai Bambu itu.

“Biasanya orang Cina itu datang ke saya dua kali seminggu. Mereka sudah drop barang duluan di Pasar Asemka dari pelabuhan. Kalau harganya deal, langsung dikirim ke sini (Pasar Gembrong). Sekali kirim bisa ribuan jenis, tergantung minat pasar,” katanya.

Tidak sedikit pula distributor Pasar Asemka, Jakarta Utara, yang kini menjadikan Pasar Gembrong sebagai etalase produk mereka. Alasannya, harga eceran produk dirasa lebih menguntungkan.

Diterjang kebakaran hebat pada 1970, 1990, dan 2015, pasar yang sudah berumur setengah abad lebih tersebut dari tahun ke tahun justru semakin sesak oleh pedagang.

Ketua RT09 RW10 Cipinang Besar Selatan Raharno mengatakan pedagang Pasar Gembrong terbagi di lima wilayah, di antaranya RT05, RT06, RT09 dan RT11.

“Di RT saya saja sudah ada belasan kios. Sejak empat tahun lalu, mulai banyak pedagang yang ngontrak bangunan di tempat saya,” katanya.

Cipinang Besar

200 meter di selatan Pasar Gembrong, Wasis (50) susah-payah membunuh bosan di kiosnya yang menempati lantai dasar Pasar Cipinang Besar. Sepanjang hari itu, hanya ada satu orang datang berkunjung. Mereka menanyakan alat tulis yang dipesan lewat aplikasi daring.

“Kalau ramai di sini, cuma seperempat aja pendapatan di Gembrong,” kata penghuni kios bernomor 155 itu diiringi senyum getir.

Suasana pasar berlantai tiga yang dikelola PD Pasar Jaya itu juga dikenal sebagai sentra mainan dan alat tulis sekolah, tapi jauh dari yang dibayangkan.

Selain Wasis, hanya ada delapan pedagang lain yang bertahan membuka kios mereka di antara 285 kios yang tertutup rapat tak terurus.

Ketika pertama kalinya dibuka pada 2013 lewat instruksi presiden, bangunan yang berdiri di atas lahan eks kuburan itu diarahkan otoritas terkait menjadi alternatif sentra mainan selain Mal Bassura yang jaraknya berdekatan.

Rupanya para pedagang merasa betah berjualan di sisi jalan. Mereka yang kini mengontrak kios hanya memanfaatkan ruang sebagai gudang penyimpanan barang.

Mayoritas penghuni kios adalah pedagang gusuran yang dipindah dari RW01 Cipinang Besar Selatan imbas pembangunan Tol Bekasi, Cawang, Kampung Melayu (Becakayu) sejak 2018.

Tidak kurang dari 789 bidang tanah milik warga yang terdiri atas tiga wilayah RW terdampak pembebasan lahan proyek Tol Becakayu.

“Untungnya saya masih dikasih waktu luang untuk ngurus surat tanah, jadi kompensasi harganya bisa buat sewa kios di sini,” kata Danang (42) pedagang mainan.

Danang memiliki cerita tentang puncak keramaian pembeli saat Idul Fitri. “Saya pernah menjual 12 kardus mainan Hot Wheels yang habis terjual hanya dalam satu hari,” kenang Danang.

Selain perayaan hari besar Islam, pasar tersebut terus ditinggalkan pengunjungnya. Selain lokasi yang dianggap kurang strategis, kehadiran toko daring dengan modal besar di pusat kota yang juga menawarkan diskon harga, membuat para pedagang sulit bersaing. Satu per satu mereka meninggalkan pasar.

Danang bertahan karena dia dan keluarganya tak punya pilihan lain. Pasar Cipinang Besar menjadi satu-satunya tempat berdagang yang kini bisa diharapkan.

“Hidup saya ya di sini. Mau ke mana lagi? Ngontrak kios sekarang mahal di Jakarta,” katanya.

Pengelola Pasar Cipinang Besar, Anna, mengatakan belum ada rencana pengembangan pasar di sini. Meski terlihat sepi, sebenarnya banyak kios di Pasar Cipinang Besar sudah disewa konsumen.

“Untuk syarat, mereka tetap bayar sewa seperti pedagang lain yang ada di sini,” katanya.

Sistem pembayaran sewa dilakukan per enam bulan sekali seharga Rp5 juta sampai Rp7,5 juta, tergantung posisinya.

Wasis dan sejumlah temannya tinggal menghitung hari. Pemerintah sepertinya perlu lebih serius memperhatikan keberlangsungan usaha pedagang Pasar Cipinang Besar agar sentra mainan di Jakarta Timur yang telah berdiri lama ini tidak lantas lenyap di tengah ketatnya persaingan pasar global. (Eko Priyanto)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin