Jakarta, Aktual.co —Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, menilai dalam dua tahun memegang tampuk pimpinan di jajaran Pemerintah Provinsi DKI pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) masih lambat dalam penanganan sistem transportasi massal untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.
Selain itu, dia juga menilai Jokowi-Ahok masih lambat dalam upaya relokasi warga yang terkena program normalisasi sungai.
Namun diakuinya untuk mengubah Jakarta jadi lebih baik memang tidak cukup hanya dengan satu atau dua tahun saja.
Kata Yayat, pemerintahan Jokowi-Ahok memang terlihat berusaha membuat nilai baru di masyarakat berupa terobosan baru terhadap kebijakan, penataan kelembagaan, hingga manajemen.
Sayangnya terobosan baru itu berhadapan dengan nilai lama yang enggan mengikuti nilai baru. Sehingga menimbulkan konflik antara pemerintah dengan warga atau lembaga masyarakat.
“Ini merupakan masa transisi untuk menuju tata kelola baru tetapi ada resistensinya. Ada yang tidak terima, yang terganggu zona nyamannya karena tidak semua orang menyukai perubahan nilai. Birokrasi pemerintahan takut dengan terobosan yang baru, ada konflik antara nilai lama dan baru dalam upaya perbaikan sistem,” ujar Yayat kepada Aktual.co, Rabu (15/10).
Soal pelayanan kepada masyarakat, Yayat mengakui memang banyak perubahan yang dilakukan Jokowi-Ahok.
Di mana masyarakat tidak perlu proses yang lama dan rumit untuk melakukan pengaduan masalah. Sehingga warga bisa langsung mengadu ke gubernur untuk masalah yang mereka alami di Jakarta.
Dengan begitu, kualitas pelayanan di Jakarta akan semakin baik karena ada kedekatan antara masyarakat dengan pemimpin.
“Orang jadi lebih terbuka karena sekarang mengadu ke gubernur pun bisa dilakukan,” ujarnya.
Menurut Yayat, secara garis besar untuk membangun Jakarta bukan hanya mengandalkan pemimpin saja. Tapi juga membutuhkan usaha dari masyarakatnya juga untuk bersama-sama mau melakukan perubahan.
Karena jika tidak diindahkan oleh masyarakat, segala kebijakan baru yang dilakukan oleh pemerintah guna membangun Jakarta yang baru akan menjadi sia-sia.
“Masih ada harapan. Ada kemajuan meskipun terkesan lamban. Oleh karena itu, semua orang harus mau dan sama-sama berubah. Pembangunan harus berjalan dengan benar untuk membangun perilaku manusia menuju Jakarta yang baru,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh: