Dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla - Impor bahan pangan. (ilustrasi/aktual.com)
Dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla - Impor bahan pangan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di sektor pangan masih sangat memprihatinkan. Status Indonesia sebagai negara agraris, tapi anehnya malah menjadi negara paling banyak mengimpor beras.

Bahkan dalam hal ketahanan pangan saja, ranking Indonesia sendiri masih kalah jauh dibanding negara tetangga seperti Vietnam. Anehnya lagi juga masih kalah dari negara yang banyak mengalami peperangan seperti Argentina.

“Selama dua tahun ini, kemandirian pangan kita masih jauh dari kata tercapai. Bahkan yang terjadi, impor kita malah naik signifikan, sehingga jauh dari kemandirian pangan,” cetus pengamat ekonomi dari INDEF, Ahmad Heri Firdaus, saat diskusi evaluasi dua tahun Nawacita, di Jakarta, Kamis (20/10).

Sejauh ini, kata dia, impor beras semakin membabi buta. Bahkan tak hanya beras, impor komoditas pangan strategis lainnya juga tinggi. Termasuk impor pangan untuk masyarakat kelas menengah ke atas, seperti gandum dan beras merah.

“Untuk impor beras, hingga Juli 2016 sudah mengalahkan jumlah impor setahun setahun lalu. Kalau begitu, mana status negara agraris kita?” kecam dia.

Data yang disodorkan INDEF, impor beras mulai Januari-Desember 2015 mencapai 351 juta ton lebih. Tapi selama tujuh bulan di tahun ini, sudah di atas jumlah impor tahun lalu.

“Jadi impor beras ini menibgkat sangat signifikan. Tentu sangat disayangkan, padahal kita ingin memajukan kemandirian ekonomi dengan meningktkan sektor dalam negeri,” cetus Heri.

Makanya tak aneh jika lembaga dunia seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dalam merilis terkait Global Food Security Index di tahun ini posisi Indonesia sangat menyedihkan.

Jika indeks itu dijadikan alat ukur ketahanan pangan, maka posisi Indonesia yang berada di peringkat 71 dari 117 negara disurvey bukan sesuatu yang membanggakan.

“Kita kalah dari Vietnam yang berada di posisi 67. Bahkan yang ironis, kita kalah dari Argentina yang negaranya banyak terjadi konfik. Peringkat mereka ada di 37. Jadi kendati sudah ada perbaikan dari tahun lalu, tapi posisi itu harus menjadi perhatian serius pemerintah,” tandas Heri.

Dengan kondisi itu, sebut Heri, sangat merugikan kalangan petani. Makanya, sampai saat ini, nilai tukar petani (NTP) selama dua tahun ini Jokowi-JK masih stagnan.

“Per September 2016, NTP gabungan berada di posisi 102,02. Kondisi itu menjadi bukti bahwa daya beli petani masih lesu,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan