Jakarta, Aktual.com – Dua tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) di sektor energi masih belum sesuai Nawacita yaitu menciptakan kedaulatan energi.
Cuma masalahnya, selama ini pemerintah masih mengalami ketergantungan energi. Volume impor minyak dan gas (migas) menunjukkan peningkatan sepanjang 2016 ini.
“Sejak kampanye dulu, Jokowi-JK bertekad ingin melepaskan dari ketergantungan energi. Tapi faktanya, dua tahun ini belum ada perbaikan ke arah sana. Kita terus mengalami ketergantungan energi,” cetus peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, di Jakarta, Sabtu (22/10).
Produk energi seperti bahan bakar minyak (BBM), minyak mentah, komoditas gas dalam bentuk produksi final, masih juga mengimpor. Selain itu untuk produk olahan batu bara juga kita impor.
“Kalau kita lihat di neraca energi, ada data berapa energi dan mineral yang bisa kita hasilkan. Misalnya batubara. Dari 100 persen yang kita produksi, ternyata 80 persen kuota ekspor. Jadi untuk konsumsi dalam negeri cuma 20 persen,” jelasnya.
Sehingga, kata dia, pasokan untuk energi listrik, untuk bahan baku industri, bisa kekurangan. Pada akhirnya, muncul kebijakan impor batubara yang sudah diolah. Juga untuk komoditas gas. Gas alam seperti dari Natuna atau Tangguh, diekspor. Tapi kemudian dalam bentuk gas elpijinya diimpor, seperri dari Jepang dan China.
“Kondisi itu terjadi karena infrastruktur energi kita masih lemah. Mestinya pemerintah bisa membangun infrastruktur energi agar tujuan demi kesejahteraan masyarakat bisa tercapai,” tutur Heri.
Jadi dengan adanya impor energi ini ujar dia, bukti belum kemandirian energi. Pemerintah sendiri belum melakukan diversifikasi energi. Selama ini, pemerintah terus bergantung pada minyak bumi yang cadangannya sedikit. Sementara eneregi seperti panas bumi belum dibangun maksimal.
Bahkan terkait paket kebijakan untuk penurunan harga gas yang sudah diterbitkan sejak akhir tahun lalu, terutama untuk kalangan industri, belum juga diimplentasikan dengan baik.
“Padahal dampak ke industri. Sangat besar. Jika pemerintah menginginkan penurunan harga gas dari US$ 8 per mmbtu menjadi US$ 6 per mmbtu, pemerintah cukup fokus ke situ. Karena selama ini banyak industri yang lahap gas, seperti pupuk yaitu PT Pupuk Indonesia sangat bergantung pafa kbijakan ini,” jelas dia.
Untuk itu, kata dia, dengan adanya nahkoda baru di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bisa menjadi kabar baik. Duet Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar jika didukung berpotensi menuju kemandirian energi.
“Jonan sangat tegas dan kuat dalam membangun sebuah good governance. Bisa menjadi warning bagi mafia migas. Sedang Arcandra sangat mumpuni di bidang ESDM. Sehingga kemumpuannya itu akan digunakan untuk membangun energi agar kita berdualuat, berdikari, dan mandiri di sektor energi untuk kesejahteraan rakyat,” harapnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh: