Jakarta, Aktual.com – Kebijakan impor pangan yang dilakukan pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) selama dua tahun ini menunjukkan peningkatan yang semakin signifikan selama 2015 dan semester pertama 2016 ini.
Sehingga ketika pemerintah sudah menerbitkan paket kebijakan ekonomi hingga 13 kali tetap saja tak berdampak dengan ketergantungan impor ini.
Hal ini diungkapkan dalam diskusi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) terkait evaluasi 2 Tahun Nawacita, ‘Lampu Kuning Produktivitas dan Daya Saing’ di Jakarta, Kamis (20/10).
“Dari yang kita lihat, impor pangan dan energi menunjukkan angka yang masih tinggi. Volume impor migas juga menunjukkan peningkatan sepanjang 2016,” jelas peneliti INDEF, Eko Listiyanto.
Bahkan, kata dia, selain impor pangan dan energi, Indonesia juga kian diserbu oleh produk-produk industri negara lain. Dan anehnya lagi, banyak barang-barang impor konsumsi yang justru di dalam negeri bisa diproduksi.
“Bisa dilihat dari melonjaknya impor barang konsumsi yang meningkat 12,8 persen sepanjang 2016 ini, yaitu dari Januari-September ini,” cetus Eko.
Dia menambahkan, kebijakan pemerintah yang pro impor ini semakin diperparah dengan kondisi industri dalam negeri yang mengalami kontraksi.
“Yang terjadi industri dalam negeri mengalami perlambatan dengan ditandai oleh daya serap impor bahan baku dan barang modal yang menurun sepanjang 2016,” cetusnya.
Karena impor bahan baku, kata dia, justru impor yang penting ini sepanjang 2016 menurun, sementara impor barang modal turun 12,6 persen.
“Tapi di saat bersamaan, ekspor dari berbagai sektor, termasuk industri, kian merosot. Penurunan kinerja industri dalam negeri juga tercermin dari berkurangnya jumlah perusahaan industri,” pungkas Eko.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan