Pengamat INDEF, Enny Sri Hartati (kanan) dan Anggota DPR F-Partai Golkar, Misbakhun (kiri) saat diskusi dialektika demokrasi dengan tema Tax Amnesty, Jangan Seperti “Tak Ada Akar, Rotan Pun Jadi” di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/9). Dana tebusan dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang didapatkan baru mencapai Rp 2 triliun. Angka itu masih jauh dari target sebesar Rp 165 triliun. Pemerintah disarankan mengubah strategi sosialisasi. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Lembaga kajian Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) selama dua tahun ini hanya sebatas retorika.

Konsep Nawacita bidang ekonomi yang diusung pemerintah selama dua tahun ini masih jauh dari harapan. Beberapa hal yang selama ini diagungkan pemerintah seperti menggenjot aspek daya saing, kemandirian ekonomi, dan mebangun dari pinggiran tak pernah terjadi.

“Sehingga sekalipun pemerintah menelurkan paket kebijakan ekononi secara masif, sampai saat ini sudah ke-13, tetap tak menjadi solusi. Karena implementasinya rendah,” tandas Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, di kantornya, Jakarta, Kamis (20/10).

Menurutnya, minim dampak dari paket kebijakan untuk mewujudkan semangat Nawacita, selain faktor lemah implemntasi, tapi juga karena setiap paket itu tidak fokus dan tidak mengenai sasaran, sehingga menjadi tidak efektif.

“Nyatanya, paket kebijakan yang sudah banyak itu pertumbuhan ekonomi tetap tidak mampu menunjukkan akselerasi,” jelas Enny.

Dengan kondisi tersebut, kata dia, membuat daya saing pemerintah kian kedoroan. Maka tak aneh jika berdasar rilis World Economic Forum (WEF), terkait Global Competitiveness Index (GCI) peringkat Indonesia terus anjlok.

“Dalam dua tahun, peringkat daya saing kita anjlok dari 34 di 2014 menjadi 37 di 2015, dan tahun ini menjadi di level 41. Hal ini karena kondisi yang buruk masih terjadi di aspek institusi, kesehatan dan pendidikan, inefisiensi pasar, ketersediaan teknologi, kecanggihan bisnis dan inovasi,” papar Enny.

Segaris dengan itu, kata dia, kemudahan berbisnis juga terus tak membaik. Hal itu tercermin dari peringkat ease doing business (kemudahan melakukan bisnis) yang disurvey Bank Dunia. Selama ini peringkat ini menjadi salah satu indikator utama tingkat daya saing suatu negara.

“Tapi Indonesia masih berada di peribgkat paling buncit, yaitu 109. Jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, Malaysia (18), Thailand (49), bahkan tertinggal dari Vietnam (90), dan Filipina (103). Artinya upaya pemerintah selama ini apa yang sudah dilakukan?” kritiknya.

Belum lagi bicara peran industri manufaktur yang kian anjlok. Sehingga, sekalipun selama ini pemerintah membanggakan diri dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5 persen, tapi faktanya kontribusi sektor industri pengolahan atau manufaktur bagi pertumbuh terus merosot.

“Kondisi ini semakin diperparah dengan implementasi hilirisasi industrinyang masih minim, sehingga ketergantungan atas hasil ekspor komoditas belum dapat teratasi dan membuat nilai ekspor Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global,” beber Enny.

Kondisi serupa juga, lanjut dia, terjadi dalam hal kemandirian ekonomi dan konsep membangun dari pinggiran menjadi hanya angan-angan. Selain barang impor masih dominan, juga masalah membangun dari pinggiran tak ada perbaikan sama sekali selama dua tahun ini.

Indikator yang terjadi, pertumbuhan ekonomi daerah merosot, pembangunan antar wilayah masih timpang, penurunan kesenjangan dan kemiskinan masih semu, kesempatan kerja semakin kecil, serta petani jauh dari kata sejahtera.

“Coba lihat kinerja petani, nilai tukar petani (NTP) selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK stagnan. Per September 2016, NTP gabungan berada di posisi 102,02, jadi bukti bahwa daya beli petani masih lesu. Dan semua indikator itu membuktikan konsep Nawacita masih sebatas retorika,” tegas dia.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid