Tapanuli Tengah, Aktual.com – Tragis, di jaman sekarang ternyata masih ada warga negara Indonesia yang mengalami gangguan jiwa harus menerima ‘hukuman’ pasung. Realitas yang mengenaskan itu ditemui langsung oleh Aktual.com di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Dua orang mengalami nasib nahas itu selama beberapa tahun terakhir. Yakni seorang pria bernama Mikdin Sihombing (30) dan perempuan bernama Marito Panggabean (30). Keduanya merupakan penduduk Desa Aek Nabontar, Kecamatan Tukka, yang berjarak 30 kilometer dari Pandan, pusat Kabupaten Tapanuli Tengah.

Mikdin dipasung sejak delapan tahun lalu, saat dirinya dianggap alami gangguan jiwa di usia 22 tahun. Sedangkan Marito, dipasung sejak empat tahun terakhir setelah dianggap alami gangguan jiwa di usia 26 tahun. Gubuk tempat memasung keduanya dibangun terpisah oleh keluarga masing-masing di pinggir desa.

Panggabean (50), salah seorang kerabat Mikdin, membawa Aktual.com mendatangi gubuk berukuran 4×3 meter tempat Mikdin dipasung. Tutur Panggabean, Mikdin dipasung oleh ibunya sendiri, Aritonang. Mikdin yang sempat dikenal rajin mengaji itu terpaksa dipasung lantaran kerap mengamuk dan mengancam keselamatan sang ibu.

“Sama orang lain gak pernah (mengamuk-red). Dia bermusuhan cuma sama ibunya,” kata Panggabean, kepada Aktual.com, Minggu (13/3).

Isteri Panggabean, Boru Lubis, menambahkan kalau sikap Mikdin mulai aneh sejak pulang dari perantauan di Kabupaten Mandailing Natal. Dari cerita yang beredar, ujar dia, Mikdin yang merupakan anak satu-satunya dari Aritonang, sengaja dipaksa pulang secara ‘mistis’ untuk menemani sang ibu di kampung.

“Di Madina dia (Mikdin) kerja di kebun karet. Jadi dipaksa pulang (secara guna-guna-red) biar ada yang ngawani mamaknya. Sampai di kampung ini, salah guna-guna. Sejak itu dia suka memukul mamaknya,” kata Lubis.

Oleh Sekretaris Desa setempat, Mikdin sebenarnya pernah diminta untuk dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Namun, sang ibu tak mengizinkan. Alasannya tidak punya uang untuk pengobatan.

Saat menyambangi tempat pemasungan Mikdin, kondisinya tampak mengenaskan. Kedua kakinya tampak mengecil karena bertahun-tahun dipasangi kayu yang membuatnya hanya bisa duduk dan tidur saja. Hanya pandangan kosong yang dilemparkan dia saat didatangi orang. Setiap hari, ibunya yang mengantarkan makanan.

Nasib tak jauh berbeda dialami oleh Marito Panggabean. Gubuk pemasungan perempuan itu berdiri tidak jauh dari tempat Mikdin. Kaki kirinya diikat rantai. Panggabean menuturkan, kaki Marito terpaksa dirantai setelah kerap lari dan pergi ke kampung tetangga tanpa busana. “Itu yang buat susah, kadang dia lari-lari gak pakai baju. Pergi ke kampung-kampung lain, jadi kita khawatir dia diapa-apain, makanya kita rantai,” tutur dia.

Panggabean yang mengaku dipercaya sebagai pengasuh Marito menuturkan, perempuan itu sudah pernah menikah dengan seorang pemuda asal Bengkulu. Bahkan sudah dikarunia seorang anak. Tapi setelah Marito alami gangguan jiwa, sang suami dan anaknya tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya.

“Ya sejak kayak gini (gangguan jiwa-red) saya yang rawat di sini, juga ada abangnya,” kata Panggabean.

Saat masih di Bengkulu bersama sang suami, kata Panggabean, Marito juga pernah dirawat karena gangguan jiwa. Tapi sudah dinyatakan sembuh. Namun, kumat lagi.
Diduga, akibat mengonsumsi obat-obatan terlarang. “Mungkin gara-gara rokok, shabu-shabu, ganja. Gitu-gitu kata orang,” ungkap dia.

Panggabean mengaku berharap Marito dan Mikdin dapat bantuan dari pemerintah agar dapat dirawat di tempat yang seharusnya, semisal Rumah Sakit Jiwa. “Kalau ada pemerintah yang mau bawa dia ke rumah sakit jiwa kita pasti kasih biar dirawat,” ucap dia.

Artikel ini ditulis oleh: