Jakarta, Aktual.com — Sekitar pukul 10.30 WIB, 14 Januari 2016, kawasan sekitar Gedung Sarinah Jalan M.H. Thamrin, salah satu wilayah paling sibuk di Jakarta Pusat, diguncang oleh beberapa kali ledakan.
Hampir tidak ada yang menyangka bahwa ledakan tersebut berasal dari bom yang dibawa oleh beberapa orang bersenjata api.
Kejutan belum berhenti sampai di situ. Masyarakat pun disuguhi pemandangan mengerikan, terjadi saling tembak antara polisi dan terduga teroris.
Beberapa media sempat bahkan menyajikan peristiwa tersebut secara langsung, membuat ketegangan merebak ke seluruh Indonesia.
Akhirnya, dalam waktu tidak sampai 3 jam sejak ledakan pertama, aparat kepolisian berhasil mengendalikan situasi. Bahkan, rombongan Panglima TNI dan Wakapolri sudah datang memantau ke lokasi pada pukul 13.00 WIB.
Peristiwa ini sendiri menewaskan delapan orang, yaitu empat orang diduga pelaku, satu mungkin diduga pelaku, dan tiga warga sipil.
Menurut keterangan resmi Kepolisian Republik Indonesia, awalnya para pelaku ingin masuk ke Gedung Sarinah. Namun, karena terdeteksi membawa bahan peledak, mereka diarahkan ke pos polisi yang hanya sepelemparan batu dari gedung tersebut.
Di pos polisi inilah teroris meledakkan diri dan sebagian lari ke arah Menara Cakrawala, gedung yang berseberangan dengan Sarinah. Di sana kemudian mereka berhasil dilumpuhkan oleh aparat kepolisian.
Relatif banyak warga yang terkejut karena jarak TKP dengan Istana Kepresidenan, jantung kekuasaan Republik Indonesia, hanya sekitar 2 kilometer (ini dikuatkan dengan data dari Google Map).
Kawasan Sarinah, Jalan M.H. Thamrin ditambah Jalan Jenderal Sudirman, memang merupakan daerah strategis sejak zaman pascakemerdekaan.
Belum ada yang tahu apa alasan teroris menyerang wilayah tersebut. Akan tetapi, entah disadari atau tidak oleh para penyerang, mereka telah “melukai” salah satu daerah paling bersejarah di Nusantara, khususnya di Jakarta.
Sarinah adalah toko serbaada pertama di Indonesia dan ada beberapa alasan mengapa didirikan di Jalan M.H. Thamrin.
Bagaimana kisahnya?. Sarinah Seperti disebutkan sebelumnya, Sarinah adalah toko serbaada atau “department store” pertama di Indonesia. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1962.
“Sarinah merupakan ‘sales promotion’ barang-barang dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Bangunannya dirancang dengan bantuan Abel Sorensen dari Denmark dan dibiayai dari rampasan perang Jepang,” kata Bung Karno seperti dikutip dari laman resmi Majalah Historia, historia.id.
Sarinah, seperti termaktub dalam buku Bung Karno-Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, sejatinya adalah nama pengasuh Putra Sang Fajar ketika kecil.
“Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk di sampingnya dan kemudian ia berpidato, ‘Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi, kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya’,” kata Bung Karno.
Karena itulah konsep pendirian “department store” Sarinah juga dilandasi keberpihakan Sukarno kepada rakyat Indonesia, terutama rakyat miskin, agar bisa berdiri di kaki sendiri secara ekonomi.
“Yang boleh impor hanya 40 persen. Tidak boleh lebih. Sebanyak 60 persen mesti barang kita sendiri. Juallah di situ kerupuk udang, ‘potlot’ bikinan kita sendiri,” kata Bung Karno dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora, 15 Januari 1966, dikutip dari historia.id.
Perkataan Sukarno itu tidak lepas dari sosialisme yang sangat populer sebelum Presiden H.M. Soeharto naik takhta pada tahun 1968.
Bahkan, “department store” pertama di Indonesia ini juga terinspirasi dari gedung serupa yang ada di negara-negara yang saat itu masih bercorak sosialis. Dia mengatakan bahwa tidak ada satu pun negara sosialis yang tidak memiliki satu distribusi legal.
“Datanglah ke Peking. Datanglah ke Nanking. Datanglah ke Shangai. Datanglah ke Moskow. Datanglah ke Budapest. Datanglah ke Praha. Ada,” tambahnya.
Nmaun sayangnya, Sejarawan dan penulis Peter Kasenda menilai keberadaan Sarinah saat ini tidak lagi sesuai dengan cita-cita Bung Karno. Menurut dia, pergantian kekuasaan ke Soeharto sangat memengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia yang awalnya berorientasi sosialisme menjadi liberalisme.
“Saat Orde Baru berkuasa, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Ini yang menyebabkan arus modal dari luar negeri mengalir deras dan sangat memengaruhi perubahan Sarinah,” kata Peter kepada Antara.
Ia mengatakan bahwa Sukarno mencanangkan Sarinah sebagai penyalur kebutuhan pokok rakyat menengah ke bawah. Akan tetapi, yang terjadi Sarinah lebih menjadi konsumsi orang asing. Namun, dia melihat sedikit perubahan.
“Akhir-akhir ini saya mengamati Sarinah mulai kembali menyesuaikan ‘track’-nya. Namun, sayang sekali produk yang dijual tidak ada jenis yang lain, seperti kebutuhan pokok,” katanya.
Dipilihnya Jalan Thamrin Dari mana Indonesia mendapat uang membangun Sarinah dan mengapa pusat perbelanjaan itu dibangun di Jalan M.H. Thamrin? Tidak seperti Belanda yang membuat pemerintah Indonesia harus menanggung utang mereka sebesar empat miliar dolar AS melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Jepang tidak demikian.
Negara matahari terbit ini terikat oleh Perjanjian San Fransisco yang ditandatangani oleh 49 negara, termasuk Indonesia, pada tanggal 8 September 1951 akibat kalah oleh sekutu pada perang dunia kedua.
Salah satu isi perjanjian itu adalah Jepang harus memberikan kompensasi kepada negara-negara yang pernah menjadi jajahannya.
Melalui diplomasi yang relatif cukup lama, 7 tahun, pada bulan November 1957 Perdana Menteri Jepang Kishi dan Presiden Sukarno sepakat atas dana kompensasi Dai Nippon untuk Indonesia adalah sebesar 223,08 juta dolar AS dan bantuan lain sebesar sekitar 80 juta yen yang dibayar dengan cara mencicil.
“Dana pembangunan Hotel Indonesia, Monumen Nasional, dan beberapa bangunan lain di Jakarta juga berasal dari rampasan perang Jepang ini,” kata sejarawan dan penulis Peter Kasenda.
Dengan adanya dana tersebut, proyek pembangunan Sarinah pun berjalan. Penanggung jawabnya adalah dr. R. Soeharto selaku Menteri Muda Perindustrian Rakyat.
Gubernur Jakarta saat itu, Dr. Soemarno, terlibat sangat aktif dalam proyek tersebut, hingga toko serbaada pertama itu bisa diresmikan 2 hari sebelum target.
Ada latar belakang unik tentang hal ini, sebab seperti yang dikatakan Peter Kasenda, setelah Indonesia mendirikan sebuah demokrasi terpimpin pasca-Dekret Presiden pada tahun 1959, Gubernur Jakarta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
“Jadi, bukan seperti di daerah lain yang di bawah Menteri Dalam Negeri,” lanjutnya.
Pemilihan tempat untuk Sarinah pun tidak sembarangan. Ada tiga alasan gedung Sarinah didirikan di Jalan M.H. Thamrin.
Yang pertama adalah Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman adalah jalan utama menuju kota satelit di Kebayoran Baru.
Kedua, hampir semua instansi pemerintah pada tahun tersebut ada di daerah itu.
Ketiga, kawasan Jalan M.H. Thamrin sampai Kebayoran Baru memang direncanakan menjadi daerah elite. Berkaitan dengan ini, menurut Kasenda, pernah beberapa kali pemerintah mengadakan penggusuran di daerah Jalan Jenderal Sudirman demi tata kota yang lebih apik.
“Di kawasan itu dahulunya setiap bangunan minimal harus didirikan lima tingkat. Itulah salah satu alasan Sarinah dibangun 14 lantai,” kata Peter.
Keseriusan Sukarno dalam menata Kota Jakarta pun dibuktikan dengan pengangkatan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Henk Ngantung menjadi wakil Dr. Soemarno, kemudian jadi gubernur pada tahun 1964. Latar belakangnya sebagai seniman diharapkan Sukarno bisa mengatur Jakarta agar menjadi lebih baik dan tertata.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara