(ist)

Jakarta, Aktual.com – Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mendukung kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia membatalkan semua kerjasama militer dengan Australia menyusul tindakan penghinaan terhadap lambang negara Pancasila oleh militer Australia.

“Tindakan Australia ini sudah sangat keterlaluan dan hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang baru terjadi, tetapi sudah sangat sering dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah dan rakyat Indonesia,” kata Tanoni kepada pers di Kupang, Kamis (5/1).

Mantan agen imigrasi Australia itu mengatakan, perlakuan buruk Australia terhadap Indonesia bukan saja terbatas pada militer Indonesia, tetapi juga terhadap pemerintah, bangsa dan rakyat Indonesia serta kedaulatan NKRI.

“Sehubungan dengan itu, kami meminta Jakarta untuk meninjau ulang seluruh kerjasama yang pernah dibuat dengan Australia, dimana kebanyakan dari perjanjian-perjanjian masa lalu itu sudah tidak bisa digunakan lagi dan perlu ditinjau kembali,” tegas Ferdi.

Sikap buruk Pemerintah Australia terhadap Indonesia itu seperti dalam kasus Laut Timor. Awalnya secara sepihak Australia menetapkan Zona Perikanan Australia hingga hampir mencaplok Pulau Rote, kemudian secara sepihak pula Australia menetapkan Zona Perikanan Australia yang ditetapkan tersebut menjadi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Australia di Laut Timor dan Arafura.

Guna memperkuat pencaplokan kedaulatan Indonesia tersebut, katanya, Australia mengajak Indonesia membuat perjanjian RI-Australia pada tahun 1997 tentang ZEE dan batas-batas dasar Laut Tertentu di Laut Timor dan Arafura. Namun, Perjanjian RI-Australia 1997 tersebut hingga saat ini belum diratifikasi kedua pemerintahan dan tidak mungkin bisa diratifikasi lagi.

Walaupun demikian, tambahnya, perjanjian yang berisi 11 pasal ini dengan jelas menyatakan “Perjanjian ini baru mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi” oleh kedua negara, namun Australia secara sepihak pula mengklaim Gugusan Pulau Pasir sebagai Cagar Alam miliknya.

Hal ini tentu saja ditolak rakyat Timor Barat dan NTT. Pasalnya selama ratusan tahun, sejak bangsa Australia belum ada, para nelayan tradisional dari Pulau Rote dan Makassar sudah menjelajah dan mencari ikan di seputar gugusan Pulau Pasir.

Akibat dari tindakan sepihak Australia tersebut, kata Ferdi, belasan ribu perahu nelayan tradisional Indonesia dijebak Australia kemudian dimusnahkan dan para nelayan Indonesia dihukum dan dipenjarakan.

Ia menambahkan, kasus pelecehan Australia yang terkini terhadap pemerintah, bangsa dan rakyat Indonesia adalah masalah tumpahan minyak mentah di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, yang mencemari hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di NTT.

Namun, Australia malah melindungi perusahaan minyak asal Thailand PTTEP dengan menutupi kasus tersebut dan melarikan diri dari tanggung jawabnya, meski RI-Australia memiliki MoU tentang “Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut”.

“Australia malah menolak untuk menggunakan MoU tersebut guna menyelesaikan petaka tumpahan minyak Montara 2009 yang telah membunuh lebih dari 100.000 mata pencaharian rakyat miskin yang bermukim di pesisir NTT. Ini benar-benar sebuah tindakan pelecehan yang dilakukan Australia terhadap bangsa dan rakyat Indonesia,” ucap dia.

Ironisnya, kata penulis buku ‘Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta’ itu, para pejabat di Jakarta selalu saja dengan mudah mau menerima dan mempercayai permintaan dari pemerintah Australia dan melupakan berbagai insiden yang terjadi.

“Kami tidak meminta Indonesia harus berperang melawan Australia, akan tetapi Jakarta harus bersikap tegas terhadap Canberra untuk melaksanakan berbagai kerjasama bilateral dengan mengedepankan prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan. Tanpa memiliki hubungan yang erat dengan Australia pun Indonesia tidak akan kiamat,” katanya.

Atas dasar itu, dia meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan rencana kunjungannya ke Australia, meninjau kembali MoU 1974 di Laut Timor tentang Hak-hak Nelayan Tradisional, Perjanjian RI-Australia tahun 1997 dan kerjasama Bidang Kemaritiman Indonesia-Australia tidak dilanjutkan hingga Australia melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Petaka Tumpahan Minyak Montara 2009 di Laut Timor.

 

*Ant

Artikel ini ditulis oleh:

Antara