PDIP resmi mengusung calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI 2017 mendatang. (ilustrasi/aktual.com)
PDIP resmi mengusung calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI 2017 mendatang. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com — Pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan keputusan PDI Perjuangan mendukung pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok-Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI Jakarta menunjukkan sedikitnya lima hal penting kepada publik.

“Pertama, PDIP mau menegaskan dirinya sebagai partai nasionalis yang menghargai keragaman atau kebhinekaan,” kata Ubedillah, Rabu (21/9).

Maksudnya adalah meski Ahok dari etnis minoritas di DKI, namun tetap diberi ruang politik dan apresiasi untuk didukung menjadi calon gubernur DKI karena dinilai oleh PDI-P sebagai gubernur yang memiliki prestasi.

“Kedua, PDI-P meyakini bahwa pasangan Ahok-Djarot adalah pasangan yang didukung PDIP sebelumnya sehingga tinggal melanjutkan dukungan.”

Ketiga, PDI-P telah melakukan lobi politik tingkat tinggi dengan pimpinan partai yang sebelumnya mendukung Ahok seperti Golkar, Hanura dan Nasdem. Bahwa posisi PDI-P diterima oleh ketiga partai tersebut sebagai pengusung utama pasangan Ahok-Jarot sehingga memiliki hak politik lebih besar jika nantinya memenangkan pilkada DKI 2017 dibanding tiga partai lainya.

Keempat, lanjut Ubedillah yang juga pengajar di Universitar Negeri Jakarta, keputusan PDI-P menunjukkan bahwa Ahok telah menyerah kepada partai untuk mengikuti apa maunya partai yang penting PDI-P mendukung Ahok.

Kelima, karena alotnya negosiasi antara Ahok dan PDI-P yang sempat menimbulkan konflik terbuka melalui media massa terkait ‘deparpolisasi’ beberapa waktu lalu. Apalagi Ahok enggan mengikuti sejumlah tes dan sekolah politik calon kepala daerah yang disediakan PDI-P.

“Lambatnya PDI-P mengambil keputusan maka situasi tersebut memungkinkan munculnya tafsir bahwa antara PDI-P dan Ahok telah terjadi ‘transaksi’ besar.”

Tafsir tersebut muncul karena publik mengenal Ahok sebagai Gubernur yang memiliki hubungan dekat dengan para pemodal dan para petinggi militer, yang dekat dengan para pemilik modal.

Jika tesis terakhir benar, maka sesungguhnya praktik politik yang sebenarnya terjadi di Indonesia bukanlah terjemahan dari ideologi partai. “Tetapi lebih merupakan terjemahan dari para pemodal yang menyatu dalam praktik politik oligarkis sehingga partai politik dikrangkeng oleh para pemilik modal.”

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu