Jakarta, Aktual.com – Dunia usaha banyak disebut masih melakukan sikap ‘wait and see’ atau menunggu dan melihat sebelum melakukan investasi terlebih dahulu. Jika dunia usaha sudah memercayai pemerintah, maka laju investasi bisa lebih kencang lagi dari sekarang.
Menurut Direktur Eksekutf INDEF, Enny Sri Hartati, mereka melakukan wait amd see itu bukan maunya dunia usaha. Justru peemrintah sendiri yang menciptakan wait and see tersebut.
“Karena bagi dunia usaha itu kalau mereka melihat peluang, mana ada mereka menahan. Artinya jika sekarang wait and see mereka itu belum ada trust terhadap pemerintah. Belum ada keyakinan. Itu banyak faktor penyebabnya. Karena kalau pemerintah mau meyakinkan dunia usaha, mereka juga akan berinvestasi,” terang Enny di Jakarta, Selasa (19/12).
Dia kembali menegaskan, wait and see itu bukan maunya dunia usaha. Tapi pemerintah sendiri yang menciptakan dunia usaha masih menunggu tersebut.
“Jadi jangan dibalik. Pak Presiden Jokowi bilang, dunia usaha jangan wait and see. Bukan begitu. Justru dunia usaha itu yang merespon perlakuan dan kebijakan pemerintah. Karena kalau ada kepastian hukum pasti akan dieksekusi (investasi),” ujarnya.
Karena jargon di kalangan pengusaha itu adalah, peluang itu belum tentu datang dua kali. Sehingga, bagi pengusaha, kalau bisa untung sekarang, kenapa harus menunggu besok.
“Bagi dunia usaha, peluang itu kalau ada di depan mata, belum tentu besok ada lagi. Jadi sebetulnya tak ada wait and see. Pemerintah sendiri yang menciptakan wait and see itu,” kata dia.
Apalagi, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi sendiri belum sepenuhnya sesuai harapan dunia usaha, yakni masih jauh dari track-nya.
“Pertumbuhan ekonomi sendiri saat ini baru 5 persen, sementara targetnya 5,2 persen. Itu masih jauh. Dan di kuartal IV-2017 ini untuk mencapai 5,1 saja susah. Kalau pun dapat 5,1 di kuartal IV maka tak otomatis bisa membuat pertumbuhan ekonomi secara umum full year di 2017 menjadi 5,2 persen. Paling tinggi cuma 5,01 di kuartal IV ini,” dia menejelaskan.
Ditambah lagi saat ini, kata dia, belanja pemerintah itu relatif tak bisa menggenjot perekonomian di kuartal IV itu, karena sudah tersebar sejak awal tahun. Dan yang bisa mendrive perekonomian itu belanja barang modal dan sebagainya. Sehingga sampai akhir tahun perekonomian tak akan tinggi. Apalagi seperti negara tetangga yang mencapai 6-7 persen.
“Sebetulnya kita bisa saja pertumbuhan di 6-7 persen. Cuma masalahnya masih rendahnya nilai tambah kita. Kalau pemerintah itu tak usah banyak hal tapi fokus mengejar sektor riil. Terutama sektor manufaktir itu dampaknya luar biasa ke pertumbuhan ekonomi,” tegas Enny.
(Reporter: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka