Jakarta, Aktual.com — Penyelenggaraan “Duurstede Festival” di Pulau Saparua, Maluku Tengah (Malteng) diharapkan mendongkrak sektor periwisata di Kepulauan Lease yang meliputi Pulau Saparua, Nusalaut dan Pulau Haruku.
“Kami berharap Duurstede Festival dapat menjadi salah satu daya dorong bangkitnya sektor periwisata di Kepulauan Lease yang hingga saat ini masih tertinggal dibanding daerah lainnya di Maluku,” kata ketua Badan pekerja Harian (BPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) John Ruhulesin, saat membuka festival seni dan budaya tersebut, di Saparua, Senin (21/9).
Menurutnya, sudah waktunya sektor periwisata di kepulauan penghasil rempah-rempah berupa cengkeh dan pala yang terkenal sejak abad 16 di jaman Portugis dan Belanda tersebut, kembali bangkit dan berkembang dan menjadi salah satu sumber pendapatan dan peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
“Potensi pariwisata di Kepulauan Lease sangatlah besar baik wisata bahari yang masih alamiah maupun seni dan budaya tradisonal yang dimiliki masyarakat, di samping sejarah masa lampau,” katanya.
Berbagai potensi wisata ini, tandasnya, jika digerakkan melalui kerja sama berbagai komponen dapat menjadi salah satu potensi unggulan untuk pembangunan daerah maupun kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Oleh karena itu, John Ruhulesin menyambut baik digelarnya Duurstede Festival oleh Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM) Pulau-Pulau Lease bekerja sama dengan Ambonesia Foundation, M-Tree Community, Wonderful Indonesia dan DPD PAPPRI Maluku.
Dia berharap, Duurstede Festival dapat ditingkatkan sebagai kegiatan tahunan yang melombakan berbagai seni dan budaya maupun olahraga tradisional setempat, tetapi mulai dilupakan atau ditinggalkan oleh masyarakat.
John juga mengajak pemerintah kabupaten Maluku Tengah, terutama Dinas Pariwisata setempat untuk ikut berperan serta mengembangkan dan festival yang untuk pertama kalinya digelar dalam skala besar di Pulau Saparua, sehingga menjadi salah satu daya tarik bagi peningkatan arus kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri ke daerah itu.
“Gereja atau pun komunitas tidak bisa melaksanakan semua even ini sendiri karena terkendala masalah sana. Karena itu perlu keterlibatan dan campur tangan pemerintah untuk bersama-sama menggelarnya, terutama promosi lebih gencar sehingga festival ini dapat berkembang dan dikenal maupun diketahui secara luas di tanah air,” ujarnya.
350 Peserta Ketua Panitia Pelaksana Cak Tomasoa mengatakan Duurstede Festival yang untuk pertama kalinya digelar diikuti 350 peserta dari 19 Jemaat di Pulau Haruku, Saparua dan Nusalaut, di mana arena perlombaannya di kawasan Benteng Duurstede, Pulau Saparua, 21 – 23 September 2015.
Dia mengatakan, festival itu mempertandingkan 11 jenis lomba yang diangkat dari sejumlah kearifan lokal seni dan budaya masyarakat Maluku khususnya di Kepulauan Lease yang saat ini semakin kurang diminati dan dilupakan warga.
Festival yang digelar memperebutkan piala bergilir Ketua PMH Sinode GPM tersebut selain untuk merayakan HUT Wadah Pelayanan Laki-Laki GPM juga untuk melestarikan sekaligus mempromosikan berbagai keragaman potensi kearifan lokal masyarakat adat setempat.
“Festival ini disasarkan untuk mempromosikan potensi lokal masyarakat khususnya seni, budaya serta pariwisata dan diharapkan dapat menjadi roda penggerak ekonomi masyarakat di Kecamatan Pulau-Pulau Lease di masa mendatang ,” katanya.
Selain itu, dapat menumbuhkan kembali kecintaan masyarakat akan seni dan budaya asli daerah yang telah ditinggalkan sebagai salah satu kearifan lokal sekaligus memberkaya khasanah budaya nasional.
11 jenis lomba dipertandingkan selama tiga hari tersebut yakni suling bambu yang merupakan alat musik tiup tradisional terbuat dari bambu dan diikuti jemaat-jemaat di Klasis GPM Pulau-Pulau Lease. Suling bambu merupakan pada masa lampau digunakan dalam upacara-upacara adat maupun ibadah di Gereja, tetapi sudah saat sudah jarang digunakan karena digantikan alat musik moderen seperti terompet dan sejenisnya.
Lomba anyam “kamboti” (keranjang) dari daun kelapa. Kamboti sering digunakan warga di Kepulauan Lease untuk menampung hasil kebun saat panen.
Lomba Cucu Atap yakni lomba membuat dan menganyam atap dari daun sagu dengan catatan waktu tercepat dan lomba membuat Tapalang atau balai-balai yang terbuat dari “gaba-gaba” atau batang daun sagu.
Selain itu lari Tampurung merupakan lomba tradisional yang dulunya dimainkan anak-anak. Tampurung atau batok kelapa yang dibagi menjadi dua dan dijadikan alas kaki untuk berlari, lomba Angkat Batu, di mana para peserta harus mengangkat batu dari dalam laut menuju tepi pantai.
Sedangkan, “Keku Dulang” adalah jenis lomba yang mengangkat tradisi kaum ibu rumah tangga atau kaum perempuan yang berjualan, di mana “dulang” atau nampan terbuat dari lembar kayu berdiameter satu meter, diatasnya diletakkan bahan atau makanan kering yang akan dijual ke pasar dan dibawa dengan cara diletakkan di atas kepala.
Selain itu, lomba makan papeda dan Bale Papeda”, lomba ini untuk menunjukkan kepiawaian para peserta memindahkan pepeda (makanan tradisional masyarakat Maluku terbuat dari sari pati pohon sagu) yang masih panas dari satu tempat ke tempat lainnya menggunakan “gata-gata” atau dua bilah bambu yang bagian ujungnya dibuat menyerupai garpu bermata dua.
Pikol Sagu Manta adalah jenis lomba lari dengan jarak tertentu sambil memanggul tepung sagu yang dimasukkan ke dalam “tumang” atau wadah berbentuk keranjang yang terbuat dari daun sagu. Sedangkan lomba orang kuat merupakan jenis triatlon tradisional berupa ‘barnang’ (berenang), panggayo (dayung) dan lari.
Artikel ini ditulis oleh: