Jakarta, Aktual.co — Penyebaran virus mematikan Ebola yang belum terbendung bahkan semakin menjalar ke beberapa negara di benua Amerika, Asia dan Eropa memicu kepanikan global dan membuat sejumlah negara bahu-membahu melawan virus yang telah menewaskan ribuan jiwa itu.
Baru-baru ini para pemimpin dunia seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman dan Italia mengadakan video konferensi untuk membahas wabah Ebola pada, Rabu (15/10), pukul 15.00 GMT (22.00 WIB).
Presiden Prancis Francois Hollande, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Italia Matteo Renzi dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama terlibat dalam pembahasan tersebut.
Ebola menjadi perhatian pemimpin dunia setelah laporan yang menyatakan adanya kasus kedua petugas kesehatan di Texas, Amerika Serikat yang terpapar Ebola usai merawat pasien asal Liberia di Dallas, Thomas Eric Duncan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah memperingatkan bahwa penyebaran Ebola lebih cepat daripada upaya negara-negara untuk memeranginya.
Selain itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan tiga negara di Afrika Barat yakni Liberia, Sierra Leone dan Guinea berpotensi menghasilkan 10.000 penderita baru pada awal Desember 2014.
Data terbaru dari Badan Kesehatan Dunia, Kamis, menyebutkan bahwa korban tewas akibat virus Ebola mencapai 4.493 jiwa dan sebanyak 8.997 orang dari tujuh negara diduga terjangkit Ebola.
Di sisi lain, negara Afrika Barat yang terjangkit wabah Ebola tidak tinggal diam dan meningkatkan upaya memerangi Ebola.
Seruan meminta dukungan dunia internasional Sierra Leone menyatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa setiap pemukiman memerlukan minimal satu pusat perawatan Ebola bagi masyarakat dan pusat perawatan yang dapat akan disesuaikan dengan kebutuhan.
Selain meminta disediakan lebih banyak pusat perawatan, Sierra Leone juga meminta tambahan pekerja kesehatan terlatih, peralatan, logistik, dan dukungan keuangan guna memerangi virus itu.
“Dukungan diperlukan untuk meningkatkan penanaman modal pasca Ebola, memulihkan kehidupan, mencegah penderitaan lebih lanjut, dan memperkuat kemitraan dalam membangun perdamaian, pemerintahan yang baik, dan pembangunan sosial-ekonomi,” kata Duta PBB untuk Sierra Leone, Vandi Chidi Minah, dilansir dari Xinhua, Rabu (15/10).
Selain itu, Prancis pun setuju untuk membangun pusat pengobatan Ebola di Guinea setelah Amerika Serikat meminta bantuan lebih banyak tenaga medis guna melawan epidemi mematikan di Afrika Barat itu.
Kantor Presiden Prancis mengatakan bahwa Presiden Francois Hollande telah berbicara dengan Amerika Serikat, Selasa (14/10), tentang kiat untuk mengatasi wabah terburuk dari penyakit itu.
“Francois Hollande dan Barack Obama telah menyerukan peningkatan mobilisasi masyarakat internasional dan Uni Eropa, dengan koordinasi yang erat dengan Perserikatan Bangsa Bangsa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan negara-negara yang terkena dampak,” kata juru bicara Hollande dilansir dari Reuters, Selasa (14/10).
Amerika Serikat mengatakan bantuan negara-negara maju untuk membantu menekan epidemi belum cukup. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry pekan lalu mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk menyumbang lebih banyak uang, peralatan dan staf kesehatan ke negara-negara yang terkena dampak di Afrika Barat.
Prancis, yang merupakan mantan penguasa kolonial di wilayah tersebut sudah menyuntikkan dana sebesar 70 juta euro dan pada awal November 2014 akan membuka pusat pengobatan pertama di Forest Region wilayah selatan Guinea yang merupakan lokasi pertama kali penyakit itu dideteksi pada Maret 2014.
Bantuan penyediaan obat percobaan Ebola Negara Asia pun ikut membantu menangani masalah virus Ebola.
Perusahaan farmasi Tiongkok Sihuan Pharmaceutical Holdings Group Ltd mengirimkan obat percobaan Ebola ke Afrika untuk digunakan pekerja kemanusiaan Tiongkok.
Perusahaan itu juga merencanakan uji klinis untuk mengatasi wabah penyakit mematikan tersebut, kata pejabat di perusahaan kepada Reuters, Kamis (16/10).
Sihuan Pharmaceutical Holdings Group Ltd telah memasok ribuan dosis obat bernama JK-05 ke Afrika dan jika diperlukan akan dikirimkan lebih banyak obat lagi, kata kepala bagian operasi Jia Zhongxin.
Saat ini pemerintah dan perusahaan obat di seluruh dunia berlomba-lomba menemukan formula tepat untuk mengobati penyakit yang telah menyebar hingga Asia, AS dan Eropa itu.
“Pekerja kemanusiaan sudah mendapatkan obat itu, dan jika ada kasus muncul (di kalangan pekerja kemanusiaan), maka obat itu bisa digunakan,” kata asisten general manager Sihuan, Huo Caixia, dilansir dari Reuters, Kamis.
Sihuan yang sebagian sahamnya dimiliki bank investasi AS Morgan Stanley berharap agar obat itu bisa segera digunakan karena telah menandatangani perjanjian dengan unit riset Akademi Ilmu Kedokteran Militer (AMMS) untuk mendapatkan izin penggunaan obat itu di Tiongkok dan menjualnya ke pasar.
Obat yang hanya mendapat persetujuan untuk digunakan dalam situasi darurat di kalangan militer itu sebelumnya dikembangkan oleh AMMS.
Jika terbukti efektif menyembuhkan Ebola, obat itu akan menjadi hadiah besar bagi sektor medis Tiongkok dan mendukung kekuatan negara itu di Afrika, partner yang semakin penting bagi perekonomian kedua terbesar dunia itu.
“Saat ini kami memformulasikan rencana untuk uji klinis, dan tidak mengesampingkan kemungkinan menggunakan pasien Afrika,” kata Huo Caixia.
Ada sekitar sejuta warga Tiongkok yang tinggal di Afrika, sekitar 10 ribu diantaranya berada di negara-negara terinfeksi Ebola yaitu Sierra Leone, Guinea dan Liberia.
Tiongkok telah mengirimkan ratusan pekerja bantuan ke Afrika untuk membantu mengatasi wabah Ebola serta bantuan medis senilai lebih dari 35 juta dolar AS ke negara-negara yang paling parah terinfeksi.
Militer Tiongkok juga memberikan lampu hijau kepada Sihuan untuk memproduksi pasokan darurat obat tersebut.
Para pengamat menyambut baik dan mengatakan obat tersebut mirip dengan obat influenza buatan Jepang bernama Favipiravir.
Perusahaan Jepang Fujifilm Holdings Corp pekan lalu tengah mempertimbangkan uji klinis Favipiravir yang dikembangkan oleh kelompok usaha Toyama Chemical Co, untuk mengobati pasien terinfeksi Ebola.
Di Asia Tenggara seperti dilansir dari TNA-OANA, Jumat (3/10), Rumah Sakit dari Fakultas Kedokteran Siriraj Thailand mengumumkan telah memproduksi obat antibodi Ebola.
Dekan Fakultas Kedokteran Siriaj, Udom Kachintorn, mengatakan bahwa antibodi yang diproduksi oleh tim peneliti menunjukkan teknologi baru yakni struktur yang berbeda dari antibodi yang dikembangkan di luar negeri dan dinilai lebih efisien.
Kepala tim peneliti Wanpen Chaicumpa mengatakan antibodi yang diproduksi Siriraj disebut antibodi rantai tunggal manusia dan lima kali lebih kecil dari antibodi normal. Antibodi itu dikatakan efisien karena mampu menembus sel yang terinfeksi dan membunuh virus Ebola dengan cepat.
Namun saat ini Rumah sakit universitas itu hanya mampu memproduksi antibodi dalam jumlah kecil sehingga untuk penggunaan umum mereka meminta bantuan swasta untuk memproduksi massal, kata Wanpen.
Dunia berlomba temukan obat Ebola Sejumlah negara yang berusaha menemukan obat untuk melawan virus Ebola menunjukkan bahwa virus tersebut bukan hanya masalah benua Afrika melainkan masalah seluruh dunia.
“Para pemimpin dunia sepakat bahwa ini adalah kondisi darurat kesehatan masyarakat internasional yang paling serius dalam beberapa tahun belakangan dan masyarakat internasional perlu berbuat lebih banyak serta lebih cepat untuk menghentikan penyebaran penyakit itu di wilayah tersebut,” kata juru bicara Downing Street terkait dengan komunikasi yang dilakukan pemimpin dunia dilansir Xinhua-OANA, Kamis.
Pernyataan juga menyebutkan bahwa setiap pemimpin harus menetapkan apa yang dilakukannya negaranya untuk membantu menumpas Ebola kemudian memusatkan pembahasan mereka untuk meningkatkan koordinasi internasional guna menangani beberapa hal penting.
Hal penting itu meliputi peningkatan nilai belanja internasional bagi masalah tersebut, peningkatan jumlah personel terlatih yang bekerja di lokasi untuk merawat yang terinfeksi Ebola dan mencegah penyebaran penyakit itu.
Para pemimpin itu juga menyepakati prosedur pengungsian bagi pekerja yang tertular penyakit tersebut.
“Perdana Menteri Inggris mengatakan akan menyambut negara yang bermitra bersama di Sierra Leone sehingga dapat menyediakan tambahan ranjang perawatan dan kami sekarang akan melakukan penelitian lebih lanjut bersama Pemerintah Italia,” kata pernyataan itu.
Perdana Menteri Inggris David Cameron juga mengusulkan agar para pemimpin memanfaatkan pertemuan di Milan, Jumat (17/10), dan Dewan Eropa pekan depan untuk membahas apa yang dapat dilakukan Eropa dan dunia untuk membantu menanggulangi penyakit tersebut.
Ebola pertama kali menyebar di Afrika Barat pada Maret 2014 dan saat ini sudah menyebar ke Spanyol, Amerika Serikat, sejumlah negara di Asia pun sudah mewaspadainya.