Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudistira

Jakarta, Aktual.com – Kebijakan menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 dinilai pilihan tepat sebagai terobosan untuk menjaga agar harga BBM subsidi dan penugasan tidak naik di tengah tingginya harga minyak mentah dunia saat ini.

Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies, di Jakarta, Rabu (25/5), mendukung kebijakan pemerintah untuk menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 sebesar Rp71,8 triliun.

Pemerintah mengambil sikap untuk menambah subsidi daripada menaikkan harga BBM sebagai bentuk perhatian pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat.

Menurut Bhima, penambahan subsidi BBM sejatinya adalah imbas dari disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi yang terlampau jauh.

Harga Pertamax dan Pertalite selisihnya sangat jauh, sehingga terjadi migrasi dari BBM kadar oktan (RON) 92 jenis Pertamax ke BBM RON 90, yaitu Pertalite.

“Dengan kondisi ini pemerintah harus all out menjaga subsidi energi. Dana masih tersedia asal pemerintah mau fokus ke stabilisasi harga energi sekaligus membantu meringankan cashflow Pertamina,” ujar Bhima dalam keterangannya.

Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) hingga saat ini kompak untuk tidak menaikkan harga Solar subsidi yang hingga kini masih tetap Rp5.150 per liter dan Pertalite dipertahankan pada harga Rp7.650 per liter.

Padahal harga keekonomian dua jenis BBM itu kini Rp12.119 untuk solar dan Rp12.665 per liter Pertalite.

Sebagai badan usaha pelaksana subsidi dan penugasan, Pertamina juga dinilai telah berupaya menjalankan tugas dengan baik.

Hal itu dibuktikan dari pengadaan dan penyaluran BBM subsidi dan penugasan ke seluruh wilayah NKRI, termasuk di daerah 3 T (terdepan, terpencil, dan terluar), sesuai dengan kuota masing-masing wilayah.

Untuk meringankan arus kas, pemerintah dapat memprioritaskan alokasi pembayaran piutang ke Pertamina yang nilainya sekitar Rp100 triliun.

“Pemanfaatan windfall pendapatan negara dari booming harga komoditas idealnya sebagian juga masuk ke subsidi energi,” ujar Bhima.

Pendapat yang sama juga dikemukakan Yayan Satyakti, Peneliti Center for Econmics and Developnebt Studieds (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.

Ia mengatakan kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan menambah subsidi BBM dinilai tepat. Langkah tersebut merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilisasi inflasi secara domestik.

“Artinya, pemerintah yang didukung Pertamina melakukan intervensi fiskal demi mengurangi dampak rantai logistik yang disebabkan kenaikan BBM terutama untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga dan rentan masuk dalam jurang kemiskinan,” kata dia.

Saat ini, kata Yayan, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan ekstrem akibat pandemi yang harus segera menjadi 0 persen pada tahun 2024. Jika tidak ada kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM akan merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan.

“Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi Solar dan Pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif,” katanya.

Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan negara lainnya seperti AS atau Uni Eropa, subsidi energi ini tetap dilakukan untuk menjaga stabilitas konsumsi masyarakat selama krisis yang diakibatkan pandemi terutama untuk energi listrik.

Di sisi lain, Yayan menilai pemerintah harus mereformasi kebijakan subsidi energi. Efektivitas subsidi energi dinilai sangat kecil dan tidak mengedukasi secara baik terhadap penggunaan energi.

Dia berharap pemerintah tegas bahwa masyarakat perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan mampu, diminta untuk membeli Pertamax.

Sedangkan Pertalite difokuskan pada kendaraan umum (pelat kuning) dan wilayah suburban atau perdesaan yang pendapatannya lebih kecil dan aksesnya lebih terbatas di bandingkan perkotaan.

“Dengan pembagian ini akan memudahkan pelayanan penggunaan energi agar tepat sasaran dan tidak menyulitkan masyarakat untuk mengakses BBM. Jika kebijakan ini segmentatif akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang nakal,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arie Saputra