Jakarta, Aktual.co —  Ekonom Mandiri Institute, Destry Damayanti mengatakan depresiasi rupiah terhadap dolar AS harus diantisipasi oleh BUMN dengan melakukan lindung nilai (hedging).  BUMN yang sangat perlu mewaspadai risiko kurs dari utang luar negerinya adalah BUMN dengan utang dalam dolar, namun pendapatannya rupiah.

“BUMN sektor minyak dan listrik seperti PT Pertamina dan PT PLN harusnya mewaspadai risiko kurs rupiah karena utangnya dalam bentuk dolar,” ujar Ekonom Mandiri Institute, Destry Damayanti di Jakarta, Rabu (11/3).

Menurut Destry, perbankan dan Bank Indonesia juga sudah memberikan ruang bagi BUMN untuk menggiatkan upaya lindung nilai.

“BI sudah bilang jika Bank tidak ada produk lindung nilai, nanti di pihak ketiga ‘dicover’ BI. Misalnya, Pertamina masuk bank tertentu yang tidak punya produk lindung nilai, Bank ini akan bicara ke BI untuk mengajukan permintaan lindung nilai,” ujar dia.

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menampik dari pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat di 2013, terdapat kenaikan akumulasi utang luar negeri yang salah satu penyebabnya karena selisih kurs. Fluktuasi kurs rupiah tersebut menimbulkan kenaikan jumlah pinjaman luar negeri pemerintah dari saat peminjaman dan saat jatuh tempo pinjaman.

Pemerintah mengasumsikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp12.500 di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015. Sementara kurs rupiah pada beberapa waktu terakhir terus menunjukkan pelemahan.

Pada Rabu sore, kurs rupiah antarbank kembali melemah hingga 135 poin menjadi Rp13.218 per dolar AS. BPK juga sedang memeriksa kerugian dari selisih kurs utang luar negeri pemerintah di 2014.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka