Seorang teller menunjukan mata uang dollar di salah satu gerai money changer di Jakarta, Jumat (2/3/18). Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai pengenaan tarif impor baja sebesar 10% dan tarif impor alumunium sebesar 25%, sempat membuat dollar AS melemah terhadap rupiah. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan, mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak akan mencapai Rp15.000 per dolar AS sampai akhir tahun ini.

Menurut Anton, rupiah justru akan menguat pada akhir 2018 dan kembali berada di bawah Rp14.000 per dolar AS.

“Akhir tahun, rupiah masih bisa menguat lagi di bawah Rp14.000 walau sekarang sangat krusial karena seasonality sehingga sekarang hampir Rp14.100. Tapi kita tidak perkirakan akan sampai ke Rp15.000 kecuali ada kesalahan ‘policy’ atau sesuatu yang sangat signifikan di luar kontrol,” ujar Anton saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/5).

Ekonom senior tersebut memperkirakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada akhir tahun akan mencapai kisaran Rp13.800 per dolar AS.

Ia menjelaskan, depresiasi rupiah yang terjadi belakangan ini tidak lepas dari faktor musiman dimana pada kuartal kedua terjadi peningkatan permintaan dolar untuk pembayaran dividen oleh perusahaan-perusahaan terbuka.

Pada semester kedua, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan kembali normal sesuai dengan fundamentalnya.

“Yang sifatnya seasonal ini terjadi di kuartal kedua tahun ini, kalau ini mulai normal lagi pressure terhadap rupiah akan normal lagi,” ujarnya.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah pada Kamis mencapai Rp14.074 per dolar AS, sedikit menguat dibandiingkan hari sebelumnya Rp14.094 per dolar AS.

Terkait dengan respon BI terhadap pelemahan nilai tukar rupiah sendiri, Anton memprediksi BI akan memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar Kamis ini.

Situasi gejolak global yang awalnya diperkirakan akan terjadi pada akhir tahun, lanjut Anton, ternyata datang lebih cepat terutama kebijakan Amerika Serikat dengan normalisasi kebijakan suku bunga The Fed dan juga meningkatnya harga minyak dunia.

“Itu jadi faktor yang memengaruhi perilaku investor global. Hal ini menyebar ke berbagai negara terutama emerging market termasuk Indonesia dimana terkena arus pembalikan modal sehingga kena currency-nya,” kata Anton.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: