Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior Standard Chartered Aldian Taloputra memproyeksikan Bank Indonesia (BI) sepanjang tahun 2017 akan menahan penyesuaian suku bunga pada angka 4,75 persen.
“Kita perkirakan BI tidak akan memotong suku bunga tahun ini. Kita perkirakan flat 4,75 persen,” kata Aldian di Jakarta, Senin (23/1).
Aldian menjelaskan alasan bank sentral tidak melakukan penyesuaian suku bunga tersebut adalah karena peningkatan inflasi dan faktor ketidakpastian perekonomian global yang cukup tinggi.
Ia memprediksi untuk menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi, BI akan fokus melakukan bauran kebijakan moneter maupun makroprudensial serta menerbitkan instrumen lain diluar suku bunga.
Terkait peningkatan inflasi pada 2017, Aldian mengatakan hal itu terjadi karena faktor harga yang diatur pemerintah (administered price), salah satunya dari kenaikan tarif tenaga listrik.
Untuk itu, tingkat inflasi diperkirakan berada pada kisaran 4,3 persen, atau lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar 4,0 persen, meski inflasi inti maupun bahan makanan lebih terkendali.
“Di sisi lain inflasi inti dan makanan lebih stabil. Inflasi inti masih sejalan dengan tahun kemarin, karena permintaan ‘moderate’. Inflasi makanan bisa dikendalikan karena kebijakan pemerintah,” ungkapnya.
Menurut Aldian, upaya pemerintah untuk mengendalikan harga bahan makanan dengan memperbaiki distribusi maupun impor, sudah optimal dalam menjaga inflasi pada 2016 dan harus dilakukan lagi di 2017.
“Selain itu, faktor cuaca juga mendukung untuk menjaga inflasi makanan, karena dari perkiraan cuaca, sepertinya tidak terlalu ekstrem dibandingkan 2016,” katanya.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI sebelumnya, Kamis (19/1), memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate) di level 4,75 persen.
Keputusan tersebut sejalan dengan upaya BI menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap mengoptimalkan pemulihan ekonomi domestik di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
BI tetap mewaspadai sejumlah risiko di 2017, baik resiko global, terutama terkait arah kebijakan AS dan Tiongkok serta kenaikan harga minyak dunia, maupun dari dalam negeri terutama terkait dengan dampak penyesuaian harga yang ditetapkan pemerintah terhadap inflasi. (Ant)
Artikel ini ditulis oleh: