Jakarta, Aktual.co — Ekonom senior Raden Pardede menilai jika pemerintah salah mengambil respon kebijakan dalam mengantisipasi tantangan ekonomi global pada 2015, maka kurs rupiah dapat melemah hingga Rp13 ribu, atau jauh meninggalkan perkiraan pemerintah di APBN 2015 sebesar Rp11.900/dolar.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu menggunakan bauran kebijakan moneter, fiskal, dan juga struktural, agar tantangan global, yakni normalisasi ekonomi Amerika Serikat dan pemulihan negara-negara maju lainnya, tidak membuat rupiah tepuruk.
“Kita cenderung bergantung pada moneter. Harusnya ada stabilisasi dari kebijakan moneter, dan ada campuran kebijakan,” ujar Raden di Jakarta, ditulis Aktual, Selasa (4/11).
Saat ini, menurut dia, Indonesia berada dalam fase ekonomi menghadapi tantangan hebat di depan, atau yang dia analogikan sebagai “angin kencang”.
Angin ini datang setelah di 2008, Indonesia mendapat “angin sejuk” yang membuat roda perekonomian melaju. Pada 2008, Indonesia mendapat berkah setelah AS menggelontorkan stimulus, dan juga harga komoditas global yang melambung.
Sedangkan di 2015, ujar Raden, “angin kencang” itu utamanya akan dihembuskan oleh paket normalisasi kebijakan ekonomi AS yakni penghentian gelontoran stimulus, dan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, The Fed.
Ilustrasinya, jika Bank Sentral AS atau The Fed menaikkan suku bunga dari 0,25 persen sesuai skenario awal hingga 1,375 persen, maka investor yang menanamkan modalnya di Indonesia akan memindahkannya ke Negeri Paman Sam.
Dengan begitu, ujar Raden, cadangan devisa Indonesia akan terkuras, karena tertekan oleh permintaan dolar AS yang masih dibutuhkan untuk impor.
“Sehingga kurs rupiah akan terus melemah,” ujar dia.
Selain AS, negara-negara maju lainnya, juga mulai menunjukkan pemulihan ekonomi, meskipun belum begitu stabil.
Raden menuturkan, bauran kebijakan diperlukan, agar dari sisi moneter, rupiah dapat terus kuat, dan dalam sisi fiskal serta kebijakan, negara memiliki Anggaran yang kebal, dari tekanan-tekanan.
Salah satu caranya, sumber pembiayaan untuk defisit Anggaran dan program pemerintah misalnya, harus diupayakan berasal dari dalam negeri, dengan diversifikasi pasar keuangan.
“Perlu ada protokol manajemen krisis memang,” ujarnya.
Dengan berbagai upaya pemerintah dan otoritas moneter, Raden masih memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di 2015 berada pada rentang Rp 12.200-Rp 12.700 per dolar AS.
Lebih lanjut, Raden menyayangkan terlenanya Indonesia ketika gejala positif dari melambungnya harga komoditas pada 2008. Iklim positif itu, tidak ditindaklanjuti dengan upaya penguatan industri manufaktur untuk menguatkan barang bernilai tambah.
“Kita tidak menggenjot ekspor manufaktur, terlena sama ‘booming’ komoditas. Tapi penyesalan memang selalu datang terlambat,” ucap Raden.
Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional 2009-2014 ini memaparkan beberapa proyeksi ekonomi makro di 2015, antara lain, pertumbuhan ekonomi berkisar 5,2 persen-5,5 persen, setelah subsidi BBM dikurangi.
Sementara, dampak kenaikan harga BBM membuat inflasi berada di level 6,5 persen-7,5 persen. Kenaikan harga BBM juga akan mendorong suku bunga acuan Bank Indonesia di level 7,5 persen sampai 8,5 persen, serta penurunan defisit transaksi berjalan menjadi 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artikel ini ditulis oleh:
Eka