Jakarta, aktual.com – Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman menilai bahwa proses persidangan sengketa pemilihan umum (pemilu) yang masih berlangsung saat ini tidak akan mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modalnya di tanah air.
“Apakah (sengketa pemilu) akan mempengaruhi minat investor asing? Kami rasa tidak. Karena sengketa pemilu itu bukan hal yang aneh,” kata Hemi dalam “Pemaparan Ekonomi dan Kinerja Keuangan Citi Indonesia” di Jakarta, Selasa (2/4) malam.
Dia menekankan bahwa sengketa pemilu bukanlah peristiwa luar biasa dan hanya fenomena normal dalam demokrasi yang sehat. Bahkan pemilu di Amerika Serikat pada 2020 pun banyak terjadi drama.
Dari sisi makroekonomi, kata Helmi, Citi sendiri masih memandang positif terhadap outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama seiring dengan pemilu yang selesai dalam satu putaran.
“Dengan penyelesaian pemilu satu putaran, di satu sisi memang stimulus berupa belanja kampanye berakhir lebih cepat dibandingkan dengan apabila pemilu dijalankan dalam dua putaran. Namun di sisi lain, ketidakpastian politik juga berakhir dengan lebih cepat karena satu putaran,” jelas dia.
Terlebih, imbuh Helmi, manifesto politik presiden terpilih mengedepankan keberlanjutan dari berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut dia, hal ini membuka jalan untuk percepatan pemulihan siklus investasi sektor swasta.
Dari perspektif investor pasar obligasi, Helmi mengatakan bahwa proses transisi politik yang sedang berjalan di Indonesia memang memiliki implikasi fiskal yang belum sepenuhnya diketahui.
Dalam jangka pendek, dengan berakhirnya pemilu dalam satu putaran, tentunya tidak semua belanja pemerintah terkait pemilu yang sudah dianggarkan akan digunakan sepenuhnya. Hal ini, kata Helmi, juga karena posisi kas pemerintah memang sudah relatif kuat.
Sementara terkait surat berharga negara (SBN), Helmi mengatakan target penerbitan SBN di kuartal II 2024 sudah mulai diturunkan dibandingkan dengan target penerbitan SBN di kuartal I 2024. Penurunan target tersebut, kata dia, tentunya disambut baik dari perspektif menjaga keseimbangan antara supply dan demand di pasar SBN.
Terkait dengan perspektif jangka lebih panjang, Helmi mengingatkan bahwa pasar obligasi masih membutuhkan kejelasan lebih lanjut tentang dampak fiskal dari program-program pemerintahan mendatang seperti program makan siang gratis untuk anak-anak.
Dia memperkirakan, biaya yang dibutuhkan untuk program makan siang gratis kemungkinan bisa mencapai jumlah yang setara dengan sekitar 1 persen atau bahkan mendekati 2 persen dari PDB Indonesia.
“Oleh sebab itu, kejelasan dari implementasi program-program ini penting bagi investor pasar obligasi karena akan menentukan outlook jangka menengah dari defisit APBN Indonesia dan juga menentukan arah rasio utang Indonesia,” kata Helmi.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain