Jakarta, Aktual.com – Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan Indonesia memiliki daya tawar yang lebih kuat bagi investor setelah Bank Dunia menaikkan status menjadi negara berpendapatan menengah atas dari sebelumnya menengah bawah.
“Kita sudah layak naik status karena program pembangunan lima tahun lebih ini mengarah kepada struktural dengan mengalokasikan anggaran subsidi energi untuk infrastruktur dan SDM,” katanya di Jakarta, Senin.
Dia menambahkan investor global akan melihat negara yang pembangunannya cepat atau ada kemajuan, dan pemerintah Indonesia saat ini mendorong pemerataan pembangunan tersebut.
Selain daya tawar kuat, kata dia, keuntungan lainnya kepercayaan dari investor serta imbal hasil dari instrumen investasi surat utang yang dikeluarkan pemerintah lebih bersaing.
Sejumlah lembaga internasional, kata dia, sebelumnya memberikan penilaian layak investasi kepada Indonesia.
Dengan begitu Indonesia tidak lagi banyak bergantung atau mengurangi pinjaman luar negeri dari lembaga multilateral namun lebih banyak menarik pembiayaan dari instrumen investasi.
“Kita punya peringkat investasi yang bagus sehingga kita lebih PD (percaya diri) menerbitkan global bond (surat utang global),” katanya.
Menurut dia, status baru itu tidak terlepas dari upaya pemerintah fokus dalam pembangunan infrastruktur yang berdampak kepada sosial ekonomi masyarakat lebih baik yakni gini rasio dan pengangguran menurun pada 2019.
Pembangunan infrastruktur itu, lanjut dia, tanpa disadari masyarakat juga mendorong peningkatan pendapatan per kapita Indonesia tahun 2019.
Bank Dunia sebelumnya menyebutkan pendapatan nasional (GNI) per kapita Indonesia tahun 2019 mencapai 4.050 dolar AS, naik dari tahun sebelumnya mencapai 3.840 dolar AS.
Klasifikasi GNI Bank Dunia yang menjadi rujukan lembaga dan organisasi internasional adalah negara pendapatan rendah 1.035 dolar AS, menengah bawah 1.036-4.045 dolar AS, menengah atas 4.046-12.535 dolar AS, dan tinggi di atas 12.535 dolar AS.
Sisi lainnya, kata dia, dengan status baru lebih tinggi ini, maka lembaga multilateral akan lebih memilih negara berpendapatan rendah yang lebih membutuhkan untuk penyaluran pinjaman.
“Tapi Indonesia kan mengurangi pinjaman itu, kita mengeluarkan global bond jadi imbal hasil yang ditawarkan lebih kompetitif dan bersaing,” ucapnya.
Meski naik status, namun ekonom muda ini memandang pemerintah masih perlu melakukan pembenahan, di antaranya daya saing SDM, hilirisasi sumber daya alam agar tidak bergantung komoditas, dan industrialisasi.
“Harapannya, tahun 2045 Indonesia bisa keluar dari negara pendapatan menengah menjadi negara maju,” katanya.(Antara)