Jakarta, aktual.com – Tekanan terhadap ekonomi Indonesia diperkirakan makin berat pada 2026, terutama dari sisi daya beli dan konsumsi rumah tangga. Pengamat Ekonomi LPEM UI, Teuku Riefky, menyebut masalah struktural yang selama ini diabaikan akhirnya menimbulkan dampak nyata pada kondisi ekonomi masyarakat.
Meski pertumbuhan ekonomi tahun depan diproyeksikan berada di kisaran 5%, tingkat konsumsi rumah tangga — khususnya sektor elektronik dan ritel — diprediksi hanya tumbuh sekitar 3%. Penyebab utamanya adalah kemandekan upah riil yang sudah terjadi sejak 2017.
“Ekonomi tumbuh 4–5%, tapi upah riil tidak pernah menyentuh 1%,” ujar Riefky dalam acara Digital Economy & Telco Outlook 2026 di Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Riefky menegaskan ketimpangan pendapatan membuat hasil pertumbuhan ekonomi tidak lagi turun ke lapisan masyarakat. Situasi ini mempersempit kelas menengah dan memperlemah kemampuan belanja rumah tangga.
Data tabungan masyarakat menunjukkan jurang yang makin lebar, bisa dilihat dari kelompok dengan simpanan di bawah Rp100 juta turun dari rata-rata Rp4,2 juta menjadi Rp1,7 juta. Tabungan kelompok di atas Rp5 miliar justru meroket hingga mendekati Rp30 miliar.
“Masalahnya, kelompok kaya tidak menambah konsumsi ketika kekayaannya naik. Jadi pertumbuhan tidak otomatis mendorong belanja masyarakat,” jelasnya.
Pada sektor ketenagakerjaan, jumlah pekerja formal terus tergerus oleh pertumbuhan pekerja informal. Lemahnya jaring pengaman sosial membuat pekerja yang terkena PHK tidak punya pilihan selain masuk sektor informal dengan pendapatan rendah.
Kondisi ini bukan hanya menekan daya beli, tetapi juga memperburuk stabilitas ekonomi jangka panjang. Struktur tenaga kerja menjadi semakin rapuh dan sulit menopang pertumbuhan berkelanjutan.
Riefky juga menyoroti beban biaya usaha yang tinggi akibat korupsi. Lebih dari 60% perusahaan besar mengaku harus memberikan suap untuk mengurus izin usaha. Praktik ini justru menekan perusahaan paling produktif, termasuk eksportir, sehingga menurunkan daya saing dan mempersempit penciptaan lapangan kerja.
Melihat rangkaian indikator tersebut, Riefky memperingatkan bahwa daya beli pada 2026 kemungkinan stagnan atau makin melemah. Ia menekankan pentingnya deregulasi besar-besaran, perbaikan iklim usaha, dan reformasi struktural yang menyentuh akar persoalan.
“Jika regulasi dan tata kelola tidak diperbaiki, tahun depan akan makin sulit menemukan masyarakat yang hidupnya lebih baik dibanding tahun lalu,” tegasnya.
Situasi ini menegaskan bahwa tanpa terobosan kebijakan besar, 2026 berpotensi menjadi tahun penuh tekanan bagi ekonomi rumah tangga, dunia usaha, dan pasar tenaga kerja Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















