Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan ketidakseriusan Presiden Joko Widodo dalam menangani ketergantungan Indonesia akan utang luar negeri menandakan semakin rapuhnya pondasi perekonomian bangsa.

Kondisi seperti ini sangat mengkhawatirkan di saat Indonesia mengalami resesi global.

“Rentannya Indonesia terhadap gejolak perekonomian global karena selama ini Indonesia sangat tergantung pada pendanaan dari luar negeri,” ujar Heri di gedung DPR, Jakarta, Rabu (3/2).

Akibatnya, Tanah Air selalu ketakutan dengan gejolak perekonomian global yang pada akhirnya menyebabkan arus modal yang keluar (capital outflow) dari dalam negeri sangat deras.

Heri mengingatkan, meski secara fundamental kondisi perekonomian Indonesia terbilang cukup baik, pemerintah tidak boleh pandang remeh kondisi perekonomian nasional di tahun 2016. Paling tidak, ada beberapa hal yang mesti pemerintah waspadai dalam menghadapi pergerakan ekonomi di tahun ini.

“Pertama, Pemerintah perlu mencermati nilai tukar rupiah yang kembali terdepresiasi setelah melemah 11 persen pada 2015. Pelemahan nilai tukar rupiah itu memberi dampak pada kurangnya minat investasi,” ungkap Heri.

Selain itu, sambungnya, yang tak kalah penting pemerintah perlu memberi perhatian serius pada Utang Luar Negeri (ULN) swasta Indonesia sebesar 167,5 miliar dollar AS.

“Ini yang harus diperhatikan Jokowi, kenapa utang swasta jauh lebih tinggi dari utang luar negeri pemerintah. Utang itu akan memberi tekanan berat pada nilai tukar rupiah ketika The Fed menaikkan suku bunganya,”ucap dia.

Pemerintah perlu memberi perhatian serius pada capital outflow investor asing di pasar saham Indonesia yang mencapai Rp2,32 triliun.

“Jauh lebih tinggi dari capital outflow Filipina sebesar Rp596,7 miliar. Ini mengindikasikan negatifnya persepsi dan kepercayaan pasar,” pungkasnya.

Untuk itu, Pemerintah harus berhati-hati terhadap capital inflow di pasar obligasi. Sepanjang Januari 2016 investor asing mencatatkan total capital inflow ke Indonesia sebesar Rp18,95 triliun.

Angka itu, kata Heri, melampaui capital inflow investor asing di Malaysia sebesar Rp10,32 triliun, Filipina Rp8,68 triliun, dan Thailand Rp15,72 triliun.

Selain persoalan diatas, Heri juga mengingatkan agar kepemilikan asing atas Surat Berharga Negara (SBN) harus dikelola dengan kehati-hatian.

“Tercatat, kepemilikan asing pada SBN yang dapat diperdagangkan meningkat dari Rp558,65 triliun pada 4 Januari 2016 menjadi Rp576,58 triliun pada 28 Januari 2016,” jelasnya.

Ia menegaskan, Intervensi pasar yang dilakukan BI harus dikontrol ketat, mengingat cadangan devisa yang terus menipis dan adanya potensi distorsi di pasar uang. Kemudian, yang perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah kedepannya pertumbuhan ekonomi nasional yang akan bergantung pada belanja dan investasi pemerintah.

“Selama ini, ekonomi masih tertolong oleh konsentrasi modal pada pembangunan infrastruktur yang sebetulnya juga dibiayai utang. Tak hanya itu, pemerintah perlu menyikapi tren perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut, ditandai dengan penurunan harga-harga komoditas serta perubahan haluan ekonomi Tiongkok yang cenderung memperkuat ekonomi domestiknya. Ini menjadi tanda bahwa kedepan ekonomi nasional tidak boleh berharap banyak pada pasar eksternal,” bebernya.

Heri menambahkan, Penurunan harga minyak dunia yang menembus angka USD30/barrel juga menjadi sinyal kuat bahwa APBN 2016 harus segera dikoreksi.

“Seluruh asumsi yang dibangun harus segera dikoreksi. Jika tidak, maka seluruh target ekonomi nasional bisa macet, bahkan terancam tidak terlaksana.”

Artikel ini ditulis oleh: