BEBERAPA hari terakhir ini, opini publik membincang pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam suatu kesempatan pertemuan dengan warga DKI Jakarta yang bermukim di Kepulauan Seribu.
Kutipan Ayat 51 Surah Al-Maidah yang disitir oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut telah melukai hati warga DKI Jakarta yang mayoritas beragama Islam.
Pasalnya, Ahok secara langsung menempatkan ayat tersebut yang bermakna larangan untuk memilih ‘Pemimpin Non-Muslim’ sebagai objek pembohongan. Ungkapan ‘Dibohongi Pakai Surah Al-Maidah 51’ sama saja menyinggung dan mendiskreditkan umat Islam yang meyakini kebenaran ajaran agamanya.
Sebagai Gubernur yang juga Pemimpin Warga DKI Jakarta, sudah selayaknya Ahok menempatkan segala perilakunya yang sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangannya. Tidak menempatkan pihak lain yang berseberangan, apalagi pemeluk agama yang berbeda dengan keyakinannya sebagai lawan.
Karena itu, menurut saya, pernyataan Ahok tersebut telah menunjukkan 3 (tiga) hal kepada publik:
Pertama, sebagai pemimpin masyarakat, Ahok tidak pantas menggunakan dan mengeksploitasi keyakinan ajaran agama lain (Islam) demi kepentingan dirinya ataupun kepentingan politiknya.
Pernyataan tersebut telah menunjukkan bahwa ia telah menjadikan teks kitab suci yang dipandang sakral sebagai instrumen politik dan membawanya ke panggung politik praktis. Suatu hal yang tidak layak dan pantas dilakukan oleh pemimpin yang sejatinya mengayomi seluruh perbedaan, baik itu perbedaan pilihan politik, apalagi perbedaan keyakinan keagamaan.
Kedua, pernyataan Ahok menunjukkan ketidakpahamannya tentang Al-Qur’an yang memang bukan kitab suci yang ia yakni kebenarannya. Keyakinan atas kebenaran al-Qur’an adalah keyakinan hakiki (aqidah) yang tidak bisa ditawar-tawar kebenarannya.
Menyinggung teks al-Qur’an dan memaknainya demi kepentingan politik, sama halnya dengan menempatkan al-Qur’an sebagai instrumen duniawi, yang justru bagi umat Islam lebih dari itu. Ahok seharusnya memahami, bahwa keyakinan kepada teks al-Qur’an tersebut berimplikasi pada keselamatan dunia dan akhirat.
Ketiga, Ahok semestinya menyadari bahwa Islam tidak pernah anti terhadap nilai-nilai demokrasi sejauh dijalankan dengan baik dan tidak bertentangan dengan aqidah umat Islam. Dalam sejarahnya, Islam di Indonesia bahkan telah berkontribusi banyak bagi perkembangan demokrasi mulai dari masa-masa perjuangan kemerdekaan, hingga saat ini.
Karena itu, pernyataan Ahok tersebut adalah pernyataan naif dan sama sekali menunjukkan ketidakpahamannya tentang sejarah umat Islam di Indonesia termasuk pengorbanan mereka yang menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Dengan demikian, atas keteledoran dan kekeliruan fatal tersebut, sebagai pejabat dan pemimpin masyarakat, Ahok harus secara dewasa menyampaikan pernyataan maaf atas pernyataan tersebut kepada seluruh warga DKI Jakarta.
Pernyataan maaf tersebut tidak hanya ditujukan kepada umat Islam yang secara langsung dinistakan oleh pernyataan tersebut, tapi juga kepada seluruh masyarakat yang beragama selain Islam.
Karena hanya dengan demikian, seluruh umat beragama merasakan hidup di alam demokrasi, dimana agama mereka tidak senantiasa menjadi bahan eksploitasi dan instrumen politik pihak-pihak tertentu di masa yang akan datang.
Kita berharap, peristiwa tersebut menjadi peristiwa terakhir. Ahok harus menunjukkan dirinya sebagai figur yang tidak selamanya benar di hadapan publik, apalagi terkait dengan keyakinan agama.
Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok harus memberi contoh tentang pemimpin yang menghargai perbedaan, tidak mengekploitasi perbedaan dan menjadikannya musuh untuk kepentingan politik praktis.
Khatibul Umam Wiranu, Ketua DPP Partai Demokrat
Artikel ini ditulis oleh: