Saudaraku, elang terbang di langit tinggi, namun tetap bersarang di tanah. Begitu pun manusia luhur: kesadaran rohaninya menjulang tinggi, tapi tak pernah lupa berjejak di bumi.
Seperti elang, setelah lelah berjelajah di cakrawala, melipat sayapnya menukik ke bawah untuk rehat di sarang, begitu pun pribadi bersinar. Setelah berjuang sepenuh hati seolah memasuki keadaan tidur tenang; hidup bebas tanpa melekat pada keinginan.
Semua burung mencari tempat berlindung saat hujan. Tak demikian dengan elang. Ia menghindari hujan dengan terbang di atas awan.
Melihat lanskap realitas dari penglihatan burung terbang rendah, yang tampak hanyalah keragaman jenis pohon. Namun, dari ketinggian penglihatan elang, segala perbedaan pohon tampak sebagai kesatuan hutan.
Dimanakah elang berhibernasi di negeri ini? Mencarinya keempat penjuru mata angin, yang rampak terlihat hanyalah burung-burung yang suka berkicau menjambul saat cuaca cerah, namun segera mendekam saat mendung mengepung.
Bagaimana bisa memahami keutuhan realitas, tanpa ketinggian tatapan elang? Tanpa keluhuran penglihatan, kita tak bisa memetakan jalan ke depan. Kehidupan diarungi dengan peta buta, berbekal asal blusukan, terantuk dari satu batu sandungan ke rundungan yang lain. Tantangan ke depan disongsong dengan siasat pemadam kebakaran, tanpa kejelasan haluan perencanaan.
Di bawah kepungan langit berkabut, orang-orang yang memandang segala sesuatu dari kerendahan penglihatan tak bisa memahami kenyataan di luar rumahnya. Satu-satunya kebenaran adalah yang tampak dari sudut pandangnya. Tak bisa menangkap kebenaran lain dari posisi tetangga seberang jalan. Hanya bisa menyalahkan pihak lain, tak bisa menyelami kesalahan pihaknya sendiri. Hanya bisa meratapi derita sendiri, tak bisa berempati pada derita yang lain
Kita harus melatih meninggikan daya terbang mental-kerohanian agar bisa melihat realitas dari ketinggian tatapan elang. Dari ketinggian penglihatan elang, cakrawala kehidupan tampak terhampar luas, rangkaian aksi-reaksi terdeteksi, ragam realitas tersambung. Kebenaran terhampar di berbagai tempat, semua warna menyatu, semua rasa bersambung, semua rezeki berbagi.
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin